Pages

PROGRAM KOMKAB KUTA ALAM

KOMITE PIMPINAN DAERAH - KOMITE MASYARAKAT KUTA ALAM BERSATU (KPD-KOMKAB)













NAMA ORGANISASI


Komite Pimpinan Daerah – Komite Masyarakat Kuta Alam Bersatu

TEMPAT PEMBENTUKAN

KOMKAB di bentuk pada tanggal 20 Juni 2010 di Kotamadya Banda Aceh

TUJUAN

KOMKAB adalah mewujudkan sistem masyarakat yang adil, modern, sejahtera, demokratis, bersih dan mandiri serta setara sepenuh-penuhnya dibidang sosial, ekonomi, politik, hukum dan
budaya dalam prinsip demokrasi-kerakyatan.

BENTUK

KOMKAB adalah organisasi yang bersifat terbuka untuk masyarakat umum.

AZAS PERJUANGAN

Komkab adalah Organisasi yang berazaskan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara.

PROGRAM PERJUANGAN

1. Memperjuangkan hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang gratis dan berkualitas.
2. Memperjuangkan hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan gratis sampai ke jenjang Universitas.
3. Menuntut kepada pemerintah untuk menyediakan perumahan yang murah, layak dan sehat bagi rakyat miskin.
4. Menolak keras segala bentuk kenaikan harga barang dan jasa pokok bagi rakyat.
5. Memperjuangkan hak rakyat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
6. Memperjuangkan Jaminan hukum bagi hak hidup, hak bekerja, dan hak bertempat tinggal bagi seluruh rakyat.
7. Memperjuangkan pemerintahan yang bebas dari praktek-praktek korupsi dan mendesak pemerintah untuk mengadili serta menyita harta koruptor, dari yang berskala kecil hingga yang berskala besar.
8. Menolak segala bentuk penjualan aset-aset kekayaan bangsa kepada pihak asing (BUMN, Gas, Minyak, Air, Mineral, Emas, Batu Bara, dsb).
9. Menuntut kepada Negara untuk menghapuskan seluruh UU/PP/Perda yang diskriminatif.
10. Memperjuangkan hak rakyat miskin agar memiliki kemerdekaan dalam menyampaikan saran dan pendapat terhadap kebijakan penyelenggara Negara.

Masyarakat Harus Mengkontrol PTS Untuk Memwujudkan Transparasi Dan Akuntabilitas Pengelola Pendidikan Di Aceh

Saat ini pengelolaan pendidikan dapat dikatakan masih tertutup bagi masyarakat, terutama dari segi pengelolaan administrasi keuangan. Pihak pengelola badan pendidikan masih menganggap tabu untuk membuka akses masyarakat terhadap aliran pendanaan pendidikan. Masyarakat sering mengeluh tentang biaya pendidikan yang dilakukan oleh pihak satuan pendidikan yang tidak sesuai dengan tingkat pendapatan masyarakat Aceh. Padahal dalam era reformasi ini telah diatur kewajiban bagi para penyelenggara negara termasuk lembaga pendidikan untuk mengelola dana dan menyelenggarakan pendidikan secara transparan dan bertanggung jawab.

Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN dikatakan bahwa asas umum penyelenggaraan negara disebutkan meliputi ;

(1) Asas kepastian hukum.

(2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara.

(3) Asas Kepentingan Umum.

(4) Asas Keterbukaan.

(5) Asas Proporsionalitas.

(6) Asas Profesionalitas dan

(7) Asas Akuntabilitas.

Asas Keterbukaan atau Transparansi adalah asas yang membuka diri terhadap hak hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara pendidikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian arti kedua asas tersebut didalam penjelasan Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999.

Masalah pendanaan pendidikan sebagaimana diatur dalam bab XIII pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Pengelolaan dana pendidikan diatur dalam pasal 48 ayat (1) menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik.

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam era reformasi ini pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan seharusnya dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab. Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan berhak untuk mengetahui seluk beluk dunia pendidikan, terutama masalah pengelolaan dana pendidikan pada satuan pendidikan.

Hak-hak masyarakat untuk mengetahui dan mempergunakan informasi tentang pengelolaan pendidikan ini diperkuat lagi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang ini menyatakan bahwa Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada dibawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik. Sedangkan pada pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN,APBD,organisasi non pemerintah, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri.

Dalam Undang-Undang ini juga diatur adanya sangsi pidana bagi penyelengara pendidikan yang tidak mau memberikan informasi yang diminta oleh pengguna informasi publik sebagaimana diatur dalam pasal 52, sedangkan bagi pengguna informasi publik juga ada sangsi pidana sebagaimana tercantum dalam bab XI dan pasal-pasalnya. Demikian pula dalam Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan telah diatur pula prinsip pengelolaan pendidikan pada bab VI yang pada dasarnya meliputi (a) prinsip keadilan; (b) prinsip efisiensi; (c) prinsip transparansi dan (d) prinsip akuntabilitas publik.

Masalah Transparansi dan Akuntabilitas pengelolaan badan publik dalam bidang pendidikan ini telah diatur dalam 3 (tiga) Undang Undang dan 1 (satu) Peraturan Pemerintah dengan disertai ketentuan pidana bagi yang melanggarnya, oleh karenanya sosialisasi mengenai hal ini kepada masyarakat di Banda Aceh. Lalu ada beberapa badan publik yang masih belum melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas.


Pengelola dunia pendidikan belum bersedia membuka diri untuk melakukan prinsip penyelenggaraan pendidikan secara transparan dan akuntabilitas sebagaimana dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan. Transparansi pendidikan merupakan wujud pertanggung jawaban pengelolaan pendidikan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan, oleh karenanya itu wajib badan publik untuk bersikap transparan kepada seluruh masyarakat

Penulis : KOMKAB

HAPUS LIBERALISASI DAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan kualitas sumber daya manusia, mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, wawasan keunggulan, kesetiakawanan sosial, dan kesadaran pada sejarah bangsa sehingga terbentuk watak bangsa yang kokoh.
Sesuai dengan apa yang sudah diamanatkan UUD 1945, mencerdaskan anak bangsa adalah tujuan dari negara, maka pemerintah bertanggung jawab dan menjamin kesempatan kepada seluruh anak bangsa. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan peran serta masyarakat, termasuk pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat seharusnya terus dikembangkan secara merata di seluruh tanah air dengan memberikan perhatian khusus kepada peserta didik terutama menyangkut pembiayaan pendidikan, khususnya berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Sampai hari ini kita masih mendengar anak bangsa yang putus sekolah atau tidak dapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan, bahkan setiap hari jumlahnya selalu bertambah. Tentu saja hal tersebut dikarenakan terbatasnya kemampuan ekonomi rakyat Indonesia yang telah diperas dan dimiskinkan oleh sistem ekonomi yang kapitalistik. Disamping itu juga sistem pendidikan nasional yang dibangun juga tidak berpihak terhadap rakyat kecil.
Berbagai kisah tentang mahalnya biaya pendidikan dan peran sekolah yang turut memainkan biaya sekolah menjadikan sekolah menjadi pasar yang dihitung dengan untung dan rugi. Biaya sekolah (uang) bahkan sudah mulai ikut menentukan arah, kemana pendidikan masyarakat hendak melangkah. Tanpa uang, tidak mungkin seorang anak miskin bisa menikmati pendidikan sekolah. Dengan kata lain, uang sudah amat berperan dalam sendi kehidupan manusia yang paling dasar. Uang menjadi value (nilai) yang kian dominan dalam worldview (pandangan dunia) kita saat ini, bukan hanya secara ekonomis tetapi juga sosio-kultural. Terlepas dari baik buruknya pengaruh masuknya uang dan pasar ke lembaga pendidikan sekolah, yang jelas pengaruh kapitalisme dengan salah satu tandanya uang dan pasar, sudah ikut menguasai sekolah. Maka tidaklah berlebihan kemudian muncul istilah, “memasarkan sekolah dan menye-kolahkan pasar”. Dampak lebih lanjut, banyak orang tua sekarang membuat kalkulasi, berapa biaya sekolah anaknya dan berapa uang yang akan ia dapat sesudah si anak selesai sekolah. Pandangan ini juga secara tidak langsung menempatkan anak bukan sebagai subjek didik, tetapi aset. Anakpun dilihat sebagai modal (human capital).
Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab dan menjamin kesempatan memperoleh pendidikan untuk semua anak bangsa ternyata malah mendorong liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang jelas mendiskriminasi rakyat kecil. Terbukti dengan produk hukum pendidikan seperti UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 Tahun 2003, BHP ( Badan Hukum Pendidikan) yang gagal, dan sekarang UU PT ( Perguruan Tinggi ) yang lagi digodok DPR dengan tujuan untuk melegitimasi praktek BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dan BLU (Badan Layanan Umum) yang tidak mempunyai dasar hukum.
Dengan demikian pemerintah telah melakukan perubahan paling mendasar terhadap tujuan pendidikan. Pendidikan, selanjutnya, bukan lagi merupakan suatu kegiatan kebudayaan untuk memanusiakan manusia, tetapi telah berubah menjadi kegiatan industri atau komoditas ekonomi.
Oleh karena itu kami anak bangsa yang tergabung dalam GPPI (Gerakan Pemuda Patriotik Indonesia) mengajak semua elemen masyarakat untuk bersama:
1. Hapus praktek liberasisasi dan komersialisasi pendidikan
2. Tegakkan ideologi Pancasila dan UUD 1945 (asli) sebagai dasar pendidikan nasional.
3. Lawan rezim komprador yang telah merusak Sistem Pendidikan Nasional.
4. Tolak RUU PT.
5. Bebaskan biaya pendidikan sampai perguruan tinggi.


Sember : http://gerakanpemudapatriotikindonesia.blogspot.com/2011/05/hapus-liberalisasi-dan-komersialisasi.html

Mahasiswa STMIK U'Budiyah Tuntut Akreditasi

Banda Aceh — Ratusan mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen dan Informatika dan Komputer (STMIK) U’Budiyah Banda Aceh berunjukrasa dengan mendatangi pihak kantor Badan Pelaksana Harian (BPH) Yayasan U’Budiyah di kawasan Tibang, Banda Aceh, Rabu (2/2).

Mereka menuntut agar pihak yayasan memperjelas status akreditasi kampus dan jurusan mereka masing-masing. Tidak hanya itu, para mahasiswa juga menuntut agar pihak yayasan bisa saling terbuka dengan mahasiswa.

Menurut Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STMIK U’Budiyah, Fauzul Husni, pihak Yayasan U’Budiyah telah melakukan pembohongan publik.

“Pada brosur tahun 2008 lalu, pihak yayasan pernah mencantumkan kata-kata gratis dalam untuk biaya les komputer, les Bahasa Inggris, dan les internet. Tapi nyatanya kami harus membayar hari ini dengan biaya hingga Rp 260 ribu. Makanya hari ini, kita ingin pertanyakan itu semua, kapan makna gratis yang disebutkan dalam brosur tersebut berubah,” urai Fauzul mempertanyakan.

Selain kedua hal tersebut, kata Fauzul, mahasiswa juga menilai fasilitas laboratorium sebagai salah satu mata kuliah kenapa harus dibayar. “Padahal ini seharusnya menjadi tanggung jawab yayasan yang harus mereka sediakan untuk kami,” jelas Fauzul.

Sementara itu, Koordinator aksi, Saifuddin juga menyebutkan beberapa poin lainnya yang menjadi aspirasi mahasiswa STMIK yaitu, masalah dosen pengajar yang datangnya tidak tepat waktu, peraturan akademik yang tidak tegas, rincian dana Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang belum siap hingga saat ini dan lainnya.

Kecuali itu, dalam aksinya ini para mahasiswa meminta agar pihak yayasan menemui mereka secara langsung. Jika ini tidak dilakukan, mereka mengancam akan menyegel kampus.

Secara terpisah Ketua Yayasan U’Budiyah Marniati, M.Kes yang dijumpai wartawan menyampaikan, masalah akreditasi yang dipertanyakan tersebut sebenarnya dalam proses.

“Kita sudah usulkan ke Badan Akreditasi Nasional (BAN) Perguruan Tinggi pada Mei 2010. Namun menurut pihak BAN, saat ini anggaran untuk tahun 2010 tidak ada lagi dan mereka belum bisa turun langsung untuk melakukan akreditasi tersebut,” jelas Marniati.

Direktur Rumah Sakit U'Budiyah Banda Aceh ini menambahkan, pihak BAN baru akan melakukan akreditasi pada 2011 ini. “Paling lama pada April nanti semuanya sudah selesai prosesnya,” ujar Marniati.

Kemudian, menyangkut fasilitas yang harus dibayar oleh mahasiswa, dia menilai, hal itu memang wajar bagi sebuah perguruan tinggi swasta yang memang boleh menetapkan biaya sesuai fasilitas yang ada.

Sumber : http://www.theglobejournal.com/kategori/pendidikan/mahasiswa-stmik-ubudiyah-tuntut-akreditasi.php

FORMULIR PENDAFTARAN CALON ANGGOTA KOMKAB

Silakan daftarkan disini untuk menjadi Calon Anggota Komite Masyarakat Kuta Alam Bersatu
( KOMKAB ).


Miskin dan Papa Ditengah Kaum Berjuis. Potret Kaum Marginal Kita


Angka kemiskinan di Indonesia memang simpang siur. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sekitar 14% dari seluruh total penduduk Indonesia atau sekitar 35 juta orang jumlahnya . Dari jumlah tersebut ternyata 60% berada di pedesaan, artinya sekitar 19,9 juta orang miskin ternyata berada dan tinggal di pelosok desa se tanah air.

Apa satandard yang digunakan BPS tentu sudah baku dan universal karena sudah lazim dan berulang ulang digunakan yakni standard yang ditetapkan oleh PBB. Apakah data ini valid? Belum tentu memang, karena selain ada tujuan pemerintah juga selain itu banyak pihak yang memiki angka -angka yang berbeda satu sama lainnya. Memang bedanya 1 hingga 2%, tapi karena perkaliannya terhadap 237 juta, tentu selisih 1% - 2% akan sangat besar angkanya.

Salah satu data yang menarik adalah data yang dimiliki oleh para Tokoh Lintas Agama yang menerbitkan memo bersama yang berjudul “Pernyataan Publik Tokoh Lintas Agama, Pencanangan tahun Perlawanan terhadap Kebohongan” salah satu data yang meraka anggap tidak benar adalah jumlah orang Miskin di Indonesia bukan seperti yang dilansir oleh Pemerintah, melainkan jumlahnya lebih banyak 2 kali lipat, yakni sebanyak 70 jutaan orang. Hal ini mengacu kepada jumlah orang miskin yang terdafar dalam pengajuan Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (Jakesmas) dan Beras untuk orang miskin (Raskin).

Dalam konstelasi fenomena kaum papa yang akan kita bahas, mari kita ambil saja data dari BPS,. Mari kita susuri data dan fakta rakyat miskin kita yang hidup terlunta-lunta dan hampir putus harapan karena melihat kenyataan demi kenyataan tentang kehebatan dan kesuksesan sebagian saudaranya yang lain yakni sebagian besar rakyat Indonesia yang menikmati hidup sebagai warga negara dengan kelebihan di dalam ekonomi, kemewahan dalam harta dan berkelimpahan dalam sisi keuangan.

Orang miskin merasa dirinya berada ditengah-tengah kemewahan ini. Pertanyaan rutin dalam hatinya, “Siapakah yang peduli?” Tidak ada yang peduli. Sebagian pejabat dan pemerintah kita memang ada yang peduli, tapi ada yang ada hanya sebagai valountir pencari keuntungan menggunakan data-data orang miskin. Mereka hanya mengejar proyek melalui program pengentasan kemiskinan yang ternyata kurang memberi manfaat secara nyata bagi kaum papa yang terpinggirkan tersebut.

Pernah kita dengar bahwa di sebuah desa di Jateng masyarakatnya harus makan tumbukan dari Singkong yang telah dikeringkan (tiwul) atau Gaplek?

Pernah kita dengarkan orang-orang miskin itu makannya hanya 1 kali sehari.

Pernah juga kita dengarkan betapa pedih hati orang tua melihat anaknya tidak gembira dan tidak ceria seperti anak orang lain yang lebih beruntung hidupnya karena berlimpah harta dan kekayaan orang tuanya.

Pernah kita mendengar untuk membiayai berobat diri sendiri pun kadang tak kuasa karena jangankan berobat, untk makan Senin -Kamis saja susah.

Tidak jarang sekelompok orang yang telah suskes secara ekonomi memberi stigma kepada kaum papa ini sebagai kaum marginal, karena mereka diaggap hanya menjadi beban bagi negara dan pemerintah. Tapi sekali lagi, tahu kah Anda bahwa menjadi miskin dan papa itu BUKAN tujuan yang mereka cita-citakan?

Jika kita melihat anak-anak orang melarat yang kurang terurus karena orang tuanya miskin apakah kita merasa jijik dan melihatnya najis, atau timbul keegoan kita bahwa kita lebih berharga dari mereka? Padahal menjadi miskin dan papa bukanlah keinginan mereka. Orang tua mereka yang miskin tidak mampu memberikan apa-apa selain belaian kasih sayang dan nasihat yang mengandung nilai-nilai kesabaran. Walau jarang yang bisa sabar tapi orang tua biasanya selalu bersikap seperti itu.

Banyak juga kita temukan orang miskin yang memilih terhormat dan bermartabad ketimbang menjadi budak hawa nafsu yang telah meracuni otak sebagian kaum berjuis hanya memikirkan masalah-masalah materialistis dan hedonisme yang tidak habis-habisnya.

Anak-anak orang miskin kadang tidak memiliki cita-cita lagi. Bagi mereka hidup ini hanya bagaimana bisa bertahan untuk besok. Bagaimana besok, apakah masih bisa makan? Hari ini makan nasi basi, kemarin makan nasi sisa orang di tong sampah, kemarinnya lagi ada roti sisa makanan orang kaya di tong sampah. Roti yang layak dimakan itu yang penting belum busuk dan kena serangan lalat. Kadang di bawa pulang untuk dimakan bersama.

Jangan anggap fenomena ini penuh dengan bumbu-bumbu tambahan kepedihan atau didramatisir, yakinlah banyak contoh dan kejadian yang dapat menyita rasa empati dan toleransi kita. Penulis sering menemukan rekan-rekan tetangga yang termenung-menung seminggu menjelang gajian, karena gajinya telah habis buat biaya sehari-hari. Jangan harap dia bercerita pengen nonton di Megaplex, Cineplex atau resotan mewah yang habis jutaan untuk 5-6 orang sekali makan. Bagi mereka mendapat Rp.10 ribu saja sudah gembira luar biasa karena cukup buat beli beras atau cukup beli Mie Instan untuk sarapan keluarga besok pagi.

Itulah fenomena rakyat miskin kita dari sudut sempit yang jarang terlihat oleh mata kita apalagi mata pejabat negara. Harusnya orang miskin yang hanya berjumlah 32 juta jiwa itu diberi skala prioritas saja. Daripada Pemerintah menghabiskan dana Bantuan Tunai Langsung dan berbagai program yang kurang efektif akan lebih baik dan efektif berikan tugas kepada Bupati dan Gubernur untuk mengangkat derajat dan martabad orang miskin di wilayah masing-masing dengan memberikan mereka Rumah yang layak, jaminan kesehatan yang jujur (bukan cuma janji atau rekayasa) atau sedapat-dapatnya memberikan peluang usaha kepada mereka.

Ada yang mengatakan, mana mungkin. Jumlah orang miskin sebegitu banyak diberikan bantuan seperti itu ? Jangan lupa, berapa lah 32 juta jiwa itu dibantu sesuai dengan contoh bantuan di atas. Mungkin saja bisa bertahap hingga 3 tahun lamanya. Jadi setiap tahun ada 11 juta jiwa yang dibantu langsung secara total. Jika sudah begini, kira-kira masih adakah orang miskin di Indonesia? Apakah dapat menjamin tingkat kemiskinan langsung ke titik Zero..? Belum tentu.

Beberapa orang miskin yang dibantu memang ber masalah, karena secara psikis dan mental mereka telah depresi atau tertekan berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Ditambah lagi dengan kebiasaan dan budaya dalam keluarganya tidak disiplin dan tidak memiliki komitmen dan integritas, maka beberapa bentuk bantuan pemerintah akan salah diartikan atau akan salah mereka gunakan.

Disinilah letaknya peran pengawas pemberi bantuan agar keluarga yang mendapat bantuan tersebut dapat di monitoring perkembangannya per minggu atau per 2 minggu. Jika ada tanda atau gelagat yang tidak beres tentu pengawas dapat langsung memberikan nasihat, wejangan dan motivasi agar keluarga tadi kembali ke perjanjian dan keinginan yang pernah diidam-idamkan yakni keluar atau berhenti menjadi orang miskin.

Jika pola dan cara ini dilaksanakan, apakah masih perlu pemerintah berlomba-lomba memberi bantuan dalam bentuk program-program unik karena kesannya seperti mempersiapkan momentum untuk menjaring suara untuk kepentingan politik masing-masing? Pasti perlu, tapi masih ada cara lain yang lebih efektif menjaring suara rakyat, yakni : Siapa yang mengangkat dan mengeluarkan mereka sebagai orang miskin, dialah yang dianggap sebagai pahlawan. ..

Mari berlomba-lomba membantu kaum papa dan orang-orang terlantar akibat kemiskinan yang mereka hadapi. Bantuan kita dengan cara apa pun, sesuai dengan cara dan kemampuan masing-masing.

Sumber > http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/14/miskin-dan-papa-ditengah-kaum-berjuis-potret-kaum-marginal-kita/

Orang Miskin Dilarang Sekolah Tinggi-tinggi



Ungkapan "Orang Miskin Dilarang Sekolah" mendapatkan pembenaran tersendiri seiring mahalnya biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Seperti yang terjadi di Institut Teknologi Bandung (ITB) dicap sebagai kampus yang khusus orang kaya, karena untuk menguliahkan anaknya di sana para orangtua harus merogoh kocek Rp 55 juta per tahun.

Kali ini, kritik mahalnya masuk ITB, disuarakan oleh mahasiswanya sendiri. Mereka mengkampanyekan seruan ‘Jangan Takut Masuk ITB’ dengan melakukan longmarch dari Kampus ITB, Jalan Gaengneca ke Gedung Rektorat ITB di Jalan Tamansari, Jumat (25/2/2011).

Kegiatan ini kembali diulang di kawasan Car Free Day di Jalan Ir H Juanda (Dago), dengan mengelindingan bola raksasa bertulisan ‘Masuk ITB Mahal’

Presiden Keluarga Mahasiswa (KM) ITB Hery Dharmawan mengatakan, aksi ini dilakukan karena para mahasiswa sangat sayang kepada ITB. Selain itu, aksi ini juga sebagai bentuk kepedulian mahasiswa kepada calon mahasiswa yang ingin masuk ITB, namun terganjal oleh biaya.

"Sebelumnya ada pernyataan dari rektorat bahwa mau masuk ITB saja harus memerlukan biaya masuk Rp55 juta. Itu kan membuat masyarakat menjadi down," ujar Hery kepada wartawan di Gedung Rektorat ITB, Jalan Tamansari, Jumat (25/2/2011).

Ia mengaku mengerti dengan kondisi ITB yang membutuhkan biaya karena sudah menarik 100% dari jalur Seleksi Masuk Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SMNPTN). "Namun kami kecewa karena pihak rektorat tidak memberikan penjelasan mengenai adanya mekanisme keringanan biaya bagi calon mahasiswa," ucapnya.

Hery menambahkan, aksi tersebut juga menuntut bahwa jangan sampai mahasiswa ITB terkesan hanya untuk golongan mampu. Aspirasi ratusan mahasiswa tersebut akhirnya diterima rektorat ITB.

Dalam pertemuan dengan Wakil Rektor bidang Komunikasi Hasanudin Z Abidin, mereke memberikan petisi 55 yang isinya mengenai solusi penerimaan mahasiswa baru di ITB.

Menanggapi aspirasi tersebut, Hasanudin mengatakan, ITB telah menyediakan 640 kursi bagi calon mahasiswa angkatan 2011/2012 yang masuk kategori tidak mampu. Ke-640 mahasiswa tersebut mendapatkan full service atau seluruh biaya akan ditanggung pihak ITB.

"640 mahasiswa yang masuk ITB tersebut akan diberikan biaya keseluruhan masuk ITB tanpa beban. Seluruhnya ditanggung ITB," ujar Hasan.

Ia mengatakan, jumlah tersebut merupakan 20% dari keseluruhan kursi yang disediakan pihak ITB yakni sebanyak 3.200 kursi. Hasan menambahkan, untuk 1.900 mahasiswa lainya akan mendapatkan keringanan sesuai dengan tunjangan orangtua.

Meski sudah ditentukan pembayaran sebesar Rp55 juta per mahasiswa, Hasan mengatakan, tidak keseluruhanya akan dibebankan dengan harga tersebut.

"Kami di sini menerima mahasiswa yang jelas mau masuk ITB dulu. Untuk biaya itu belakangan. Jika tidak mampu membayar dengan harga tersebut, kita maksimalkan dengan kemampuan orang tua. Namun jika mampu membayar lebih kita juga akan menerimanya. Nah sisanya sebagai amal," tuturnya.

Kendati pihak rektorat memberikan solusi, namun karena minat masuk ITB tersebut sangat tinggi, dipastikan akan lebih calon mahasiswa yang gagal masuk gara-gara tak punya biaya.

Pasalnya, Tingginya biaya kuliah tersebut sangat memberatkan masyarakat di tengah melambungnya biaya hidup, mulai dari kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, tarif dasar listrik, hingga terus melambungnya harga BBM.

Di sisi lain, penyelenggaran pendidikan murah juga menuai dilema bagi pengelola universitas negeri. Pasalnya, dengan status Badan Hukum Milik Negera (BHMN), universitas tidak lagi mendapat pasokan subsidi yang memadai dari pemerintah. Univesitas negeri dituntut mencari sendiri sumber keuangannya.

Pada tahun-tahun sebelumnya, untuk mengatasi keterbatasan dana yang dimiliki, universitas mempunyai cara ampuh yakni dengan membuka lebar penerimaan mahasiswa baru melalui jalur khusus di luar SNMPTN. Di mana para mahasiswa jalur khusus tersebut dikenakan biaya kuliah jauh lebih besar dibanding mahasiswa jalur reguler yang melalui SNMPTN.

Namun mulai 2011 ini, cara tersebut tidak bisa lagi dilakukan. Berdasarkan Peraturan Mendiknas No 34/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, PTN hanya dibolehkan menjaring mahasiswa baru melalui jalur khusus sebesar 40%, dan sisanya harus lewat SNMPTN yang digelar secara nasional. Bahkan ITB telah menghapuskan jalur khusus tersebut.

Hasanudin mengakui, hal tersebut cukup berat. "Dengan asumsi itu (640 mahasiswa), ITB harus mencari mencari setidaknya Rp60 miliar untuk menanggung mahasiswa miskin," tandas Hasanudin.

Selain komitmen untuk membebaskan biaya bagi mahasiswa kurang mampu di universitas itu sendiri, peran masyarakat terutama kalangan usaha untuk memajukan pendidikan anak bangsa sangat dibutuhkan. Sehingga pendidikan tidak hanya menjadi hak orang kaya, tapi bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.


Sumber : http://www.rimanews.com/read/20110228/18289/orang-miskin-dilarang-sekolah-tinggi-tinggi

"Orang Kaya di Negeri Miskin"


Judul : Orang Kaya di Negeri Miskin
Penulis : Eko Prasetyo
Ilustrator : Eko Nugroho
Penerbit : Resist book,
Tahun terbit : 2005
Tebal : 172 hal.
Yang terbetik setelah membaca buku ini adalah “aneh tapi nyata”. Aneh karena ternyata di negeri miskin sebagaimana tersebut dalam buku ini kehidupan hewan lebih dihargai daripada kehidupan manusia. Sebagai contoh burung yang memiliki kicau indah, bisa dihargai puluhan juta bahkan milliar (hal. 74). Kucing ataupun anjing santapan tiap harinya adalah susu dan daging, dan tentunya makanan untuk kucing ataupun anjing kesayangan berharga mahal. Sementara itu manusia miskin lebih banyak digusur, lebih banyak ditindas, tak diperhatikan dan tak berharga. Di negeri ini memang hidup kadang tak adil. Negeri ini telah larut dalam sistem ekonomi pasar yang mengedepankan kebijakan ekonomi neo liberal yang tidak hanya membuat layanan publik menjadi mahal dan privatisasi aset-aset negara, namun juga menghasilkan orang miskin. Sistem ini telah menebar jumlah orang miskin dan melambungkan sejumlah kecil orang untuk menjadi kaya dan hidup secara berlebihan.
Buku ini dilengkapi ilustrasi menarik, mengungkapkan keanehan-keanehan ini. Lihatlah sebagaimana diungkapkan buku ini selain investasi salah sasaran melalui perbankan di era orde baru, juga terjadi exploitasi sumberdaya alam di kawasan yang memiliki sumber daya kaya, namun terjadi pemasungan hak-hak ekonomi penduduk lokal dan terjadi perampasan semena-mena terhadap lingkungannya. Orang kaya di negeri ini memang selalu beruntung. Ia kuat karena dikokohkan oleh sistem ekonomi pasar dengan konsep ekonomi liberalnya menguasai aset pemerintah dan hajat hidup orang banyak untuk diperjualbelikan mengakkumulasi laba. Orang kaya juga tak terpengaruh dengan kebijakan kenaikan harga bahan-bahan pokok bahkan ia bisa mempengaruhi kebijakan serta memperoleh kekayaan dengan cukup mudah dan bergaya serba mewah.
Perbedaan kehidupan para kaya dengan para papa sangat kontras. Orang kaya di negeri ini bisa membeli produk keluaran terbaru yang dipamerkan di negeri ini, bisa membeli motor-motor besar, dengan cekatan akan berlomba untuk mendapatkan tiket paling depan pertunjukan mobil atau konser, dengan mudah bergonta ganti baju dengan desain yang modern, dengan nyaman bisa memakan makanan ataupun meminum minuman yang harganya satu bulan orang miskin ketika makan, dengan mudah bisa berpiknik atau berobat ke luar negeri, dengan senang bisa mengkoleksi hewan piaraan kesayangan, bunga indah, dan barang antik lainnya dengan harga puluhan juta bahkan ratusan jutaan.
Bisa sedot lemak, bisa pedicure-menicure, Bahkan orang yang disebut profesional baik penyanyi, pelawak, pembawa acara ataupun profesi lainnya karena efek pencitraan yang diciptakan media dengan mudah dalam satu kali acara dapat meraup uang jutaan sementara orang miskin di negeri ini sekeras apapun bekerja tetap tak dapat bermimpi sebagaimana orang kaya bahkan mimpinya selalu terganggu karena lapar, karena tergusur dari kebijakan tata kota yang tidak memihak orang miskin. Orang miskin selalu sengsara, selalu tertimpa tangga dari salahnya kebijakan pembuangan sampah, ia bisa tertimbun sampah. Dari korupsi para pejabat tinggi ia tak dapat membeli nasi. Ironisnya ia tak mengerti hanya mampu mengagumi. Dari salahnya kebijakan tata impor bahan pokok yang liberal produk yang ditanam di negeri sendiri tak laku mereka jual, hanya dihargai dengan harga rendah. Begitulah nasib orang miskin dan kaya di negeri ini, untuk semakin dapat mendalami kehidupan di negeri ini lebih baiknya anda membaca buku yang ditulis oleh Eko Prasetyo ini dan jika ingin lebih kaya pemahamannya tentang kemiskinan anda dapat membaca buku lainnya yang telah ia tulis tentang trilogi orang miskin. Selamat membaca dan menjadi kaya pemahamannya tentang orang miskin dan orang kaya. Untuk ketika kita kelak jadi kaya tidak melupakan orang miskin sebagai bagian dari hidup kita untuk kita berbagi.

Tidak akan tersucikan suatu umat selama si lemah tidak dapat menuntut dan memperoleh haknya dari si kuat tanpa rasa takut dan cemas (Nabi Muhammad Saw).


Sumber : http://hasdiansa040411.blogspot.com/2011/05/judul-orang-kaya-di-negeri-miskin.html

Orang Miskin Dilarang Kuliah


Sungguh sedih jadi anak miskin, alias pas-pasan. Jangankan bisa menikmati sekolah elit atau kuliah di kota-kota besar, seperti Jakarta, untuk kuliah di Universitas Jember saja susah.

Sejumlah mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin terancam tidak bisa kuliah karena mereka tidak memiliki biaya daftar ulang. Padahal mereka termasuk cerdas karena berhasil lolos seleksi nasional mahasiswa perguruan tinggi negeri (SNMPTN) yang terkenal sulit untuk lolos.

Sudah tidak bisa membayar, meminta toleransi pun dipersulit. Seperti yang dituturkan oleh seorang calon mahasiswa bernama, Ahmad Ainun Nadjib.

"Saya sudah mengajukan surat permohonan untuk meminta toleransi perpanjangan waktu membayar biaya daftar ulang, namun pihak Rektorat Unej selalu berbelit-belit," kata salah seorang siswa bernama Ahmad Ainun Nadjib, Selasa (3/8).

Bahkan calon mahasiswa Unej asal Kabupaten Banyuwangi itu rela menginap di salah satu masjid karena tidak memiliki keluarga di Jember hanya untuk menunggu jawaban dari pihak rektorat.

Nadjib diterima di Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unej, sehingga harus membayar biaya daftar ulang sebesar Rp 4.325.000. Namun kemampuan ekonomi kedua orang tuanya, tidak mampu memenuhi persyaratan itu.

"Sehari-hari orang tua saya bekerja sebagai buruh tani, sehingga tidak mampu membayar Rp 4.325.000 sekaligus. Saya hanya minta toleransi waktu yang lebih lama untuk membayar biaya daftar ulang," ucapnya lirih.

Ini adalah potret miris kondisi anak bangsa yang naas harus terlempar dari dunia pendidikan hanya karena datang dari keluarga miskin. Sebuah situasi miris, di tengah deru peringatan kemerdekaan yang sebentar lagi akan datang.

Kemerdekaan memang tak berarti bagi si miskin yang hendak merubah hidupnya melalui pendidikan. Fenomena Nadjib di Jember adalah bukti betapa jaminan pendidikan bagi rakyat miskin hanya jadi slogan pemerintah semata. Di daerah dan pelosok negeri masih banyak Nadjib-Nadjib lain yang terhempas ke dalam kemiskinan dan tidak bisa melanjutkan pendidikan.

Anak bangsa di negeri ini, boro-boro keluar dari jerat kemiskinan, untuk berjuang merubahnya saja pemerintah sepertinya tak mau memfasilitasi. Sekolah hanya untuk mereka yang punya uang saja. Ternyata, benar slogan orang miskin dilarang sekolah.


Sumber : http://www.wartanews.com/read/Nusantara/f0fd60ba-298a-47d3-84d5-74f0c34ad4a8/Orang-Miskin-Dilarang-Kuliah

Kemiskinan Aceh: Dimana Para Ekonom Kita?


Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2010 menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin ke-tujuh dalam skala nasional dengan prosentase 20,98 persen dari total 4.486.570 jiwa penduduknya. Pada satu sisi data menunjukkaan adanya penurunan angka kemiskinan sebesar 0,82 persen dibandingkan dengan data pada tahun 2009. Namun pada sisi lain, angka ini belum sepenuhnya menjadi berita gembira karena angka kemisikinan di Aceh masih berada di bawah rata-rata prosentase nasional yang berkisar pada angka 13, 33 persen.

Melihat data diatas, maka kesimpulan kita Provinsi Aceh belum mampu mengentaskan kemiskinan secara optimal, padahal provinsi ini tergolong provinsi yang paling banyak menerima bantuan, baik berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus (OtSus), dana bagi hasil migas, dana tambahan bagi hasil migas, dana rehab-rekon, bantuan luar negeri (multidonor fund), dan dana reintegrasi. Jika diakumulasikan total dana tersebut berjumlah lebih dari 10 triliyun rupiah. Kondisi ini menjadi semakin ironis ketika Aceh termasuk daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah yang dapat dikelola untuk mengurangi angka kemiskinan diatas (Serambi, 08/11/2010)

Dari fakta ini, maka patut dipertanyakan apakah pemimpin Aceh saat ini memiliki ide untuk mengoptimalkan berbagai sumber daya yang ada dalam mengentaskan kemiskinan? Untuk mengelola kekayaan alam dan dana yang tergolong besar itu, pemerintah Aceh yang mengayomi 23 kabupaten/kota ini, dituntut untuk selalu proaktif dan kreatif, serta memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang jelas sehingga visi pembangunan dan pengentasan kemiskinan tidak terhenti di tengah jalan.

Sejalan dengan keadaan diatas, Dekan Fakultas Ekonomi Unsyiah, Raja Masbar, telah menyampaikan pemikirannya bahwa arah kebijakan ekonomi Aceh harus difokuskan pada penciptaan lapangan pekerjaan bagi kelompok masyarakat yang tidak memiliki keahlian (skill) dan pengurangan jumlah penduduk miskin. Arah kebijakan bisnis harus difokuskan pada dua prioritas utama yaitu (a) pembangunan industri pengolahan pertanian dan (b) pemberdayaan jaringan pemasaran (marketing network).

Untuk menjawab sekelumit permasalahan ini, Aceh membutuhkan berbagai cara yang efektif yang senantiasa berorientasi pada pemanfataan sumber daya alam (SDA) dan manusia (SDM) serta kearifan lokal yang telah lama hidup di tengah-tengah masyarakat. Kebijakan yang menjadi solusi bagi masyarakat Aceh juga harus ditetapkan oleh masyarakat lokalnya. Agar tercipta kemapanan dalam masyarakat Aceh, tentunya diharapkan adanya jalinan kerjasama antara setiap komponen masyarakat lokal, termasuk pemerintah daerah, kaum intelektual, pelaku bisnis dan masyarakat itu sendiri. Kerjasama ini diharapkan untuk mewujudkan tujuan bersama sesuai kondisi dan sumberdaya lokal yang dimiliki.

Dalam hal ini, kita perlu belajar pada Muhammad Yunus, dekan Fakultas Ekonomi Universitas Chittagong di Bangladesh yang juga sekaligus praktisi ekonomi. Dengan usaha dan keyakinan yang dimiliki, dia juga telah nobel perdamaian pada tahun 2006. Penghargaan itu diberikan karena ia berhasil mengangkat derajat masyarakat Bangladesh dari kemiskinan melalui Grameen Bank (Bank Pedesaan) yang ia dirikan. Dengan usahanya Muhammad Yunus berhasil mengangkat 58 persen dari 7 juta orang peminjam bank tersebut dari kemiskinan. Kesederhanaan yang disertai dengan suatu tujuan yang jelas telah beliau tunjukkan. Hal itu terlihat ketika ia disuguhi sebuah pertanyaan tentang impiannya (vision) sehingga dia mau melakukan upaya pemberdayaan ini. Yunus menjawab bahwa dia ingin suatu hari anak cucu kita akan harus pergi ke museum untuk melihat seperti apa itu kemiskinan.

Sebuah pelajaran besar yang diberikan oleh Yunus bagi akademisi dan praktisi ekonomi, bahwa untuk menciptakan sebuah perubahan fundamental kita harus langsung terlibat di inti persoalan agar mendapatkan hasil yang signifikan.

Disinilah letak kewajiban setiap civitas akademika Fakultas Ekonomi di berbagai universitas di Aceh. Mereka adalah akademisi yang menyandang predikat sebagai ilmuwan –yang juga menyiratkan kepakaran-- dalam bidang pengembangan perekenomian. Tentunya setiap kita memiliki peran penting dalam upaya menurunkan jumlah kemiskinan yang kini masih menggelayuti Aceh. Secara tidak langsung setiap akademisi dituntut untuk mengabdikan keilmuan yang dimiliki dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin di Aceh.

Seruan untuk mengabdikan diri sesuai dengan jenis keilmuan yang dimiliki bukan hal baru. Hal ini telah termaktub dalam Tri-Dharma Perguruan Tinggi di berbagai universitas. Sebagai kaum intelektual, peran yang harus kita mainkan adalah memberikan solusi kongkrit berupa gagasan, konsep serta tindakan nyata (real action) yang dapat memajukan perekonomian sebagai upaya pengentasan kemiskinan di Aceh. Akan terasa tiada manfaatnya semua bahan kuliah (text book) yang setiap hari di mamah-biak di ruang kelas, tanpa dibarengi dengan suatu tindakan nyata yang dapat memberikan perubahan positif secara kangsung dan signifikan.

Jika kesadaran akan peranan ini tercipta, serta kerjasama dapat terbangun antara pemerintah, kaum intelektual dan masyarakat Aceh dalam satu tujuan yang sama, maka harapan untuk memajukan dan mengentaskan kemiskinan di Aceh akan dapat terealisasi secara komprehensif.



Sumber : http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=369:kemiskinan-aceh-dimana-para-ekonom-kita&catid=72:ekonomi-a-pembangunan&Itemid=125

10 Propinsi Paling Miskin di Indonesia


Hasil Sensus Nasional terbaru Badan Pusat Statistik telah merekam data perkembangan terbaru mengenai angka kemiskinan di Indonesia. Hasil sensus itu juga memetakan wilayah yang masih menghadapi persoalan kemiskinan yang cukup parah.

“Kemiskinan adalah salah satu masalah mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah negara manapun, karena salah satu tugas pemerintah adalah menyejahterakan masyarakat,” ujar Kepala BPS Rusman Heriawan dalam penjelasan hasil Sensus Nasional yang dirilis baru-baru ini, berbarengan dengan ulang tahun RI ke-65. Rusman mengakui jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 memang telah berkurang 1,51 juta orang menjadi 31,02 juta orang (13,33 persen) dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang. Namun, angka kemiskinan itu terbilang tinggi.

Ketersediaan data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran, menurut dia, sangat penting digunakan untuk mengevaluasi kebijakan strategis pemerintah terhadap kemiskinan. Ini juga penting untuk membandingkan kemiskinan antarwaktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi mereka.

Jika membandingkan antar daerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi persoalan kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu justru terjadi di wilayah dengan kekayaan sumber alam melimpah, seperti Papua.

Selain Papua, propinsi lain yang memiliki prosentase penduduk miskin tinggi adalah Maluku, Nusa Tenggara, Aceh, Bangka Belitung dan lainnya. Jumlah penduduk di propinsi-propinsi tersebut yang memang tidak sebanyak di Jawa, tetapi secara prosentase dibandingkan total penduduk di wilayah tersebut, kelompok orang miskinnya sangat tinggi.
10 Propinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi (%) No Propinsi Angka Kemiskinan
1 Papua Barat 36,80
2 Papua 34,88
3 Maluku 27,74
4 Sulawesi Barat 23,19
5 Nusa Tenggara Timur 23,03
6 Nusa Tenggara Barat 21,55
7 Aceh 20,98
8 Bangka Belitung 18,94
9 Gorontalo 18,70
10 Sumatera Selatan 18,30

Sumber: Sensus Nasional BPS 2010

Agar pengukurannya terpercaya, menurut Rusman, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Konsep ini tidak hanya digunakan oleh BPS tetapi juga oleh negara-negara lain seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Menurut pendekatan ini, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (GK). Secara teknis GK dibangun dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).

GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari; sedangkan GKNM merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.

“Pengukuran kemiskinan yang terpercaya dapat menjadi instrumen bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada perbaikan kondisi hidup orang miskin,” kata Rusman.

Pengurangan kemiskinan sepanjang periode Maret 2009-Maret 2010 menjadi salah satu acuan bagaimana strategi yang bisa diterapkan. Pada periode itu angka kemiskinan berkurang 1,51 juta orang, menurut catatan BPS, terjadi karena sejumlah hal.

Pertama, inflasi umum relatif rendah, yaitu sebesar 3,43 persen. Kedua, rata-rata upah harian buruh tani dan buruh bangunan masing-masing naik sebesar 3,27 persen dan 3,86 persen selama periode Maret 2009-Maret 2010.

Ketiga, produksi padi tahun 2010 (hasil Angka Ramalan II) mencapai 65,15 juta ton gabah kering giling (GKG), naik sekitar 1,17 persen dari produksi padi tahun 2009 yang sebesar 64,40 juta ton GKG.

Keempat, sebagian besar penduduk miskin (64,65 persen pada 2009) bekerja di sektor pertanian. Nilai Tukar Petani naik 2,45 persen dari 98,78 pada Maret 2009 menjadi 101,20 pada Maret 2010.

Kelima, perekonomian Indonesia pada triwulan I 2010 tumbuh sebesar 5,7 persen terhadap Triwulan I 2009, sedangkan pengeluaran konsumsi rumah tangga meningkat sebesar 3,9 persen pada periode yang sama.

Sumber : http://asephendriana.wordpress.com/2010/08/25/10-propinsi-paling-miskin-di-indonesia/

Visit Banda Aceh Year 2011 Hanya Untungkan EO


Program tahun kunjungan wisata atau Visit Banda Aceh Year Tahun 2011 yang dicanangkan Pemko Banda Aceh beberapa waktu lalu, hingga kini dinilai belum mampu membawa dampak apa-apa di lapangan, selain hanya menguntungkan pihak Event Organizer (EO) selaku pelaksana kegiatan.

Awalnya, program Visit Banda Aceh Year bertujuan untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD), dan membangkitkan taraf ekonomi masyarakat melalui pembukaan lapangan kerja guna menurunkan angka kemiskinan di ibu kota Provinsi Aceh itu.

"Namun sampai sekarang pelaksanaan Visit Banda Aceh tidak memberikan taraf perekonomian kepada masyarakat kota Banda Aceh," kata Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani kepada wartawan di Banda Aceh, Jumat (17/6).

Sebelumnya, Pemko Banda Aceh pada 2011 menganggarkan dana sebesar Rp14 miliar untuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dalam pelaksanaan Visit Banda Aceh Year 2011.

"Ternyata, alokasi anggaran Rp14 miliar yang selama ini digunakan untuk pelaksanaan visit itu, lebih banyak digunakan Event Organizer (EO) dibandingkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat," ungkapnya.

Askhalani menjelaskan, dari Rp14 miliar yang digunakan untuk program tersebut, sekitar Rp9,8 miliar digunakan bukan untuk menunjang atau menyukseskan Visit Banda Aceh Year 2011 secara tepat. Selebihnya justru dipakai untuk belanja pegawai dan rutin lainnya Rp4.9 miliar.

"Dana Rp9,8 miliar ada yang digunakan untuk biaya perjalanan dinas luar daerah sebesar Rp241 juta, belanja sewa tenda Rp170 juta, sewa kamar untuk tamu Pemda Rp60 juta, belanja sewa sound system Rp150 juta, belanja propaganda dan dokumentasi Rp2 miliar, pengembangan destinasi pariwisata Rp664 juta, promosi seni budaya dan pariwisata kota Banda Aceh Rp1 miliar dan yang lebih besar lagi anggaran untuk belanja jasa EO yang mencapai Rp5 miliar," terangnya.

Sebenarnya, ujar Askhalani, pelaksanaan kegiatan Visit Banda Aceh Year 2011 ini bertujuan untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat dan menekan angka kemiskinan di Kota Banda Banda Aceh. Namun dalam pelaksanaan malah menguntungkan EO, katanya.

Untungkan Pengusaha

Askhalani menyatakan, beberapa event yang dibuat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata gaungnya cukup besar, tetapi perlu dilihat juga siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari event itu, yaitu para pengusaha. Karena pengusaha mempunyai modal dalam menjual barang dagangannya.

Kalau masyarakat miskin yang tidak mempuyai pendapatan dan hanya menggantungkan diri pada pekerjaan sehari-hari seperti nelayan, buruh dan sebagainya, mereka tidak mendapatkan apa-apa dalam pelaksanaan event tersebut, karena tidak mempuyai modal untuk membuka usaha yang dilaksanakan dalam event itu, paparnya.

Menurutnya, Pemko Banda Aceh salah menempatkan anggaran sebesar itu khusus untuk pelaksanaan Visit Banda Aceh, karena pelaksanaan program ini terkesan dipaksakan, tanpa ada pertimbangan sebelumnya.

Seharusnya, Pemko tidak menempatkan anggaran dengan porsi yang cukup tinggi untuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh, tetapi Pemko seharusnya menganggarkan dana besar untuk dinas yang bisa membantu meningkatkan ekonomi masyarakat miskin, seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Sosial dan lainnya.

Dia mengungkapkan, untuk menyukseskan Visit Banda Aceh Year bukan hanya dengan anggaran yang cukup besar, seharusnya Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh dalam menyukseskan kegiatan itu harus sering melakukan kampaye untuk menyukseskan budaya Aceh khususnya Banda Aceh.

Pemko harus berani dan tegas dalam melakukan evaluasi terkait pelaksanaan Visit Banda Aceh Year 2011. Kalau dari hasil evaluasi tahun depan tidak mampu menunjang PAD yang bagus, maka lebih baik diganti saja programnya. "Saran saya cari saja program-program lain yang lebih maksimal, agar mampu mendorong percepatan ekonomi masyarakat," tegasnya. (mhd)

Sumber : http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=98863:visit-banda-aceh-year-2011-hanya-untungkan-eo&catid=42:nad&Itemid=112

Cadangan Beras Bulog Aceh 62.000 ton


Persediaan beras di Perum Bulog Divisi Regional (Divre) Aceh diperkirakan mencapai 62.000 atau cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di provinsi tersebut hingga awal tahun 2012.

"Persediaan beras yang ada di enam sub-divre kami pastikan cukup untuk memenuhi kebutuhan beras bagi masyarakat hingga tujuh bulan kedepan di Aceh" kata Kadivre Bulog Aceh, Fachriani di Banda Aceh.

Disebutkannya, Bulog Aceh membutuhkan sekitar delapan ribu ton beras setiap bulan di antaranya untuk memenuhi kebutuhan beras masyarakat miskin (raskin) dan kesiapsiagaan bencana daerah.

"Artinya, cadangan beras di gudang Bulog hingga pertengahan Juni cukup aman," katanya.

Pihaknya terus berupaya agar stok beras yang tersedia di gudang Bulog dalam posisi minimal mampu memenuhi tiga bulan kebutuhan beras di provinsi berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa itu. "Kami pastikan persediaan beras menghadapi ramadhan dan lebaran Idul Fitri juga aman karena stoknya cukup hingga Januari 2011," katanya.

Karena itu, masyarakat diharapkan tidak khawatir dengan kelangkaan beras di pasaran, sebab persediaan beras masih cukup tersedia dan mampu memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat di provinsi paling ujung barat Indonesia tersebut.

Sumber : http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=200153:cadangan-beras-bulog-aceh-62000-ton&catid=13:aceh&Itemid=26

Aceh Belum Miliki Data Kemiskinan Akurat


Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh sampi saat ini ternyata belum memiliki data kemiskinan yang akurat di kalangan penduduknya karena masih mengacu pada data hasil survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setempat beberapa waktu lalu.

"Jumlah penduduk miskin di Aceh ini saat ini belum ada data yang akurat untuk 2011, namum angka kemiskinan itu setiap tahun turun rata-rata dua persen," ujar Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Aceh, Warqah Helmi kepada wartawan di Banda Aceh, Selasa (14/6).

Pernyataan tersebut disampaikanny di sela-sela acara lokakarya review Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di sebuah hotel berbintang di Banda Aceh sweraya menambahkan, data masyarakat miskin yang dipakai pemerintah saat ini bersumber dari BPS Aceh yakni mencapai 861.850 jiwa atau sebanyak 20,98 persen dari total jumlah penduduk Aceh yang mencapai 4,45 juta jiwa.

Kegiatan Pemerintah Provinsi (Pemrprov) Aceh untuk mengurangi kemiskinan ini adalah dengan memberikan bantuan kepada komunitas masyarakat miskin di Aceh, salah satunya bantuan itu bersumber dari PNPM Mandiri Perkotaan.

Sementara itu, Team Leader PNPM Mandiri Perkotaan di Aceh, Benny Supriyadi menyampaikan tahun 2011 ini Aceh mendapat alokasi dana sebesar Rp45,7 miliar untuk pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan. "Untuk pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan 2011 Aceh mendapat alokasi dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp45,7 miliar," kata Benny.

Selain itu, katanya, selama empat tahun menjalankan PNPM Mandiri Perkotaan jumlah Kepala Keluarga (KK) yang sudah menerima manfaat tercatat sebanyak 206.169 KK dengan 75.834 KK merupakan KK penduduk miskin.

Sedangkan untuk ekonomi bergulir total KK miskin pedesaan sebagai pemanfaat bantuan PNPM ini sudah mencapai 99.377 KK, sehingga aset program yang dihasilkan untuk dana kegiatan ekonomi tahun 2010 ini berjumlah Rp15, 8 miliar.

Pemanfaatan dana BLM untuk kegiatan ekonomi hingga Mei 2011 tercatat Kota Banda Aceh mendapatkan alokasi dana terbanyak hingga Rp4,8 miliar, sedangkan untuk Kabupaten Aceh Tengah mendapatkan alokasi dana paling sedikit yaitu hanya sebesar Rp19 juta untuk dana ekonomi bergulir.

Ia mengatakan, jenis kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh PNPM Perkotaan tahun 2010 yaitu, perdagangan (ikan, warungan, gorengan, makanan dan warnas) mencapai 16.340 proposal, jasa (pangkas, beca motor, labi-labi) 2.482 proposal, bengkel (las, bubut, mobil, motor) 925 proposal, pengrajin (rotan, konveksi, anyaman) 569 proposal.

Kemudian, ternak (bebek, ayam, kambing, kerbau) 2.344 proposal, pertanian (padi, jagung, singkong) 4.401 proposal, nelayan (bakul, buruh, penangkap ikan) 2.771 proposal, perkebunan (sawit, mangga) 1.547 proposal sedangkan data terakhir disebutkan untuk proposal dan lain-lain yang mencapai 2.232 proposal.

"Secara keseluruhan jumlah proposal ekonomi yang masuk ke UPK PNPM Perkotaan ini sebanyak 10.410. Sedangkan proposal yang sudah dicairkan dananya baru mencapai 10.109 unit," sebutnya. (mhd)

Sumber: http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=98652:aceh-belum-miliki-data-kemiskinan-akurat&catid=42:nad&Itemid=112

25 Persen Penduduk Pesisir Aceh Hidup di Bawah Garis Kemiskinan


Sebanyak 25 persen penduduk pesisir di Aceh dilaporkan masih hidup di bawah garis kemiskinan atau belum sejahtera. Padahal, Provinsi Aceh memiliki garis pantai 2.666,27 km dan wilayah laut kewenangan 43.339,83 km2 atau merupakan wilayah pesisir terbesar di Pulau Sumatera.

"Tetapi sayangnya kekayaan alam ini belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat," ujar Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar menyimpulkan fakta yang terungkap dalam dialog Lingkungan Hidup bertema: "Penyelamatan Kawasan Pesisir dan Lautan Aceh dari Kerusakan" di sekretariat Walhi Aceh, Kamis (16/6).

Kegiatan yang diselenggarakan dalam rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup ini merupakan kerja sama antara Walhi Aceh, Muslim Aid Indonesia dan Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA).

Muhammad Zulfikar menyatakan kawasan pesisir Aceh yang meliputi 18 kabupaten/kota, merupakan anugerah yang luar biasa besar. Namun sayang, sumber daya alam yang menjanjikan ini ternyata belum mampu mengangkat taraf kehidupan masyarakat pesisir.

Hasil kajian Walhi, memperlihatkan semua wilayah Aceh semakin rusak dan kalau hal ini terus dibiarkan, maka bisa terjadi situasi darurat ekologis. Kerusakan ini memperburuk kesejahteraan masyarakat Aceh terutama di kawasan persisir.

Dia juga menyinggung mengenai berbagai peraturan, qanun dan regulasi lain yang mengatur lingkungan hidup termasuk pesisir. Berbagai peraturan yang sudah susah payah dibuat ini ternyata dilanggar begitu saja termasuk oleh pembuatnya. "Mereka yang buat aturan mereka yang langgar. Qanun-qanun ini masih terkubur (belum digunakan-red) mari kita bangkitkan dari kubur," ujar TM Zulfikar.

Dikatakan, kerusakan pesisir tampak nyata kerusakannya di depan mata. Untuk kawasan kota Banda Aceh saja misalnya, hutan mangrove yang ada sudah semakin rusak. Dulu kawasan Lampaseh merupakan hutan bakau yang lebat, sehingga menghalangi pemandangan ke arah pantai. "Ini merupakan salah satu indikasi baik-buruknya kawasan pesisir. Tercatat 75 persen hutan magrove di Aceh hancur," ujar Zulfikar.

Kritisi

Direktur Walhi Aceh ini kembali mengkritisi kebijakan pemerintah yang mengandalkan sektor pertambangan untuk pertumbuhan ekonomi. Seharusnya sektor lain seperti sektor perikanan bisa menjadi sektor andalan. "Tapi sayangnya sektor perikanan masih tertatih-tatih," ujar Zulfikar sembari menambahkan ini semua terkait dengan lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang mengelolanya.

SDM kelautan harus dioptimalkan agar kemiskinan akut masyarakat pesisir bisa dihilangkan. Jika upaya penyelamatan lingkungan dapat dilakukan secara maksimal maka kesejahteraan manusia pun semakin terjamin.

Kasi Pengelolaan Pesisir, Pulau-pulau Kecil dan Konservasi Taman Laut, Abdus Syakur, pada kesempatan itu memaparkan ancaman yang dihadapi oleh perikanan Aceh. Provinsi Aceh memiliki garis pantai 2.666,27 km dan wilayah laut kewenangan 43.339,83 km2, merupakan wilayah pesisir terbesar di Pulau Sumatera.

Jumlah nelayan Aceh saat ini diperkirakan 61.768 orang dengan 58 persen adalah nelayan tetap dan sisanya adalah nelayan paruh waktu. "Akibat dari kemiskinan ini masyarakat berusaha mencari nafkah dengan merusak, misalnya dengan menebang hutan mangrove atau menangkap ikan pakai bom dan sebagainya,"ujar Abdus Syakur.

Fakta lain yang disampaikannya adalah saat ini telah terjadi penurunan penutupan terumbu karang 7 persen dalam 3 tahun terakhir. Bila berlanjut terus dalam kurun waktu 15 tahun terumbu karang di Aceh akan habis. "Ini akan berakibat pada penurunan produktifitas ikan dan hasil tangkapan laut lainnya," kata Abdus Syakur.

Dikatakan, kawasan yang memiliki terumbu karang paling baik adalah Aceh Selatan, sedangkan hutan bakau yang memiliki kerapatan tertinggi berada di Lhokseumawe dan Bireuen. Tapi semuanya kini berada dalam posisi terancam menjadi tambak.

Ancaman-ancaman ini muncul karena pertumbuhan penduduk dan aktifitas masyarakat. Keterlibatan banyak pihak sangat diharapkan dalam pengelolaan kawasan pesisir Aceh sehingga diharapkan pengelolaan yang baik akan memberikan dampak meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

Akademisi dari Jurusan Kelautan Fakultas MIPA Universitas Syiahkuala, DR. Nurfadli, berpendapat bahwa masyarakat yang miskin menjadikan mereka merusak lingkungan. "Hidup masyarakat kita terlalu miskin sehingga masyarakat melakukan kegiatan yang merusak lingkungan," ujar Nurfadli.

Tidak ada negara berkembanga yang peduli lingkungan. Berbeda dengan masyarakat negara maju yang sudah sejahtera, kerusakan lingkungan relatif kecil, tapi negara maju pun dulunya, sebelum seperti sekarang, juga merusak lingkungan. Nurfadli menganjurkan agar dilakukan upaya-upaya mensejahterakan masyarakat atau pemberdayaan ekonomi. Terapkan teknologi untuk menambah nilai jual produk-produk perikanan Aceh. (irn)


Sumber : http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=98755:25-persen-penduduk-pesisir-aceh-hidup-di-bawah-garis-kemiskinan&catid=42:nad&Itemid=112

Aceh Butuh Banyak Industri untuk Kurangi Kemiskinan


Provinsi Aceh saat ini membutuhkan kehadiran banyak industri yang bergerak di berbagai sektor seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan dalam upaya mempercepat pengurangan angka kemiskinan penduduknya yang masih tergolong tinggi, yaitu mencapai 20 persen.

"Kalau mau cepat mengurangi kemiskinan, saya pikir solusi yang tepat harus memiliki banyak industri," ujar Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar kepada wartawan usai menghadiri pembukaan Unsyiah Fair ke-7 di Gedung AAC Dayan Dawood, Darussalam, Banda Aceh, Senin (13/6).

Acara yang dibuka Rektor Unsyiah, Prof Dr Darni M Daud MA tersebut, turut dihadiri Wakil Ketua MPR-RI, Ahmad Farhan Hamid, Pangdam Iskandar Muda (IM), Mayjen TNI Adi Mulyono dan undangan lainnya.

Menurut Nazar, selama lima tahun terakhir ini di Aceh adalah tahun konsolidsasi perdamaian selain membangun berbagai infrastruktur strategis. Oleh karena itu, mulai 2012 sampai seterusnya harus menjadi periode pembangunan perekonomian, dan masyarakat Aceh sudah harus tidak boleh banyak lagi bicara konflik.

"Karena itu pula, kita perlu melakukan transformasi kultural di tengah masyarakat supaya masyarakat produktif, mau memamfaatkan lahan, kemudian pemerintah juga lebih produktif termasuk di tingkat struktur pemerintahan seperti dinas-dinas tertentu yang bersifat ekonomis seperti Dinas Pertanian, Perikanan, Perkebunan, dan Peternakan ini dia harus lebih banyak petugas fungsional," sebutnya.

Ditambahkan, dengan keberhasilan memasukkan Aceh dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), akan semakin banyak kucuran dana diluar APBN yang masuk ke provinsi paling ujung barat pulau Sumatera tersebut.

Selama ini kita lihat, industri-industri itu tidak ada disini, akibatnya nilai tambahnya banyak lari ke provinsi lain dan kita tidak bisa menyalahkan provinsi lain karena di Aceh sendiri memang tidak ada industri. Dan iklim pun selama konflik dan masa lima tahun terakhir masih dalam tahap pemulihan menuju perdamaian yang benar-benar permanen.

Karena itu, lanjut Nazar, prasyarat utama perdamaian harus terus berlanjut dan harus mentransformasikan dari masyarakat yang selama ini masih terpengaruh dampak konflik, menjadi masyarakat yang produktif tidak lagi malas, termasuk harus memperkuat SDM dalam rangka melahirkan nilai tambah dan teknologi ke depan di Aceh.

Semua Pihak

Sementara Wakil Ketua MPR-RI, Ahmad Farhan Hamid menyatakan, gerakan pengentasan kemiskinan di Aceh membutuhkan keterlibatan semua pihak untuk menyelesaikannnya. "Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh tidak bisa jalan sendiri, tapi harus melibatkan semua pihak untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan yang meliputi tingkat kesejahteraan penduduk dan kesehatan masyarakat," katanya.

Angka kemiskinan di Aceh yang berada sekitar 20 persen merupakan sebuah persoalan yang harus segera dituntaskan dan dicarikan solusi segera. Dikatakannya,tingkat kesehatan dasar masyarakat di Provinsi Aceh masih terpuruk dan hunian rumah rumah tidak layak huni datanya masih memprihatinkan 250 ribu unit.

Artinya, persoalan tersebut tidak mampu diselesaikan Pemerintah Aceh sendiri tanpa adanya keikutsertaan semua pihak dalam membangun dan mengentaskan kemiskinan.

Pemerintah Aceh membutuhkan waktu sekitar 150 tahun untuk membangun, jika setiap tahunnya pembangunan rumah tidak layak huni dianggarkan sekitar 1.000 rumah.

Farhan Hamid yang Anggota DPD-RI asal Aceh ini, juga menyarankan Pemprov Aceh dapat menjadi fasilitator dengan melibatkan para pengusaha dan orang-orang kaya untuk ambil bagian dalam mengurangi beban pemerintah, yakni membangun rumah layak huni bagi warga miskin di provinsi berpenduduk 4,6 juta jiwa itu.

Ia optimistis dengan membangun kesadaran bagi setiap masyarakat yang memiliki kemampuan dan kekayaan upaya mengentaskan kemiskinan di Aceh dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama. "Aceh juga memiliki banyak potensi Sumber Daya Alam yang dapat dikembangkan sebagai upaya menjehaterakan masyarakat di masa mendatang," tandasnya. (mhd)



Sumber : http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=98468:aceh-butuh-banyak-industri-untuk-kurangi-kemiskinan&catid=42:nad&Itemid=112

Orang Miskin Dilarang Kuliah? Kata Mendiknas, Itu Sudah Lewat


Mendiknas Mohammad Nuh menegaskan bahwa orang miskin dilarang kuliah itu merupakan pandangan yang sudah lewat atau tidak ada lagi. "Tahun 2010, kami sudah menerima 20 ribu mahasiswa dari program Bidik Misi (beasiswa pendidikan miskin berprestasi) dan tahun ini juga sama," katanya di Surabaya, Sabtu.

Ia mengemukakan hal itu dalam dialog dengan 400-an mahasiswa ITS penerima Bidik Misi tahun 2011 di Grha ITS Surabaya dengan dipandu Rektor ITS Prof Triyogi Yuwono dan dihadiri sejumlah dekan dan ketua jurusan. Dalam kesempatan itu, Nuh yang juga mantan Rektor ITS itu memberikan motivasi belajar dengan mengajak sejumlah mahasiswa untuk berdialog langsung dengannya, terutama mahasiswa miskin yang yatim.

"Nabi Muhammad SAW juga menghadapi cobaan hidup yang berat dengan ikut paman dan kakek, tapi beliau istiqomah, sehingga Allah SWT pun memberi jalan. Tidak ada kata menyerah, meski beliau secara ekonomi juga susah," katanya.

Sambil melirik Rektor ITS di dekatnya, Nuh menyatakan 30 tahun lalu tidak ada yang menyangka bahwa orang Tulungagung bernama Triyogi akan menjadi Rektor ITS. "Sekarang juga tidak ada yang bisa menyangka kalau 30 tahun mendatang akan ada adik-adik yang menjadi bupati, menteri, bahkan presiden. Kalau saya bisa menduga, tentu saya jadikan menantu," katanya, disambut tawa.

Menurut dia, pendapat bahwa orang miskin dilarang kuliah juga sudah lewat, karena pandangan itu sudah diubah sejak tahun 2010 dengan siapapun yang berprestasi bisa kuliah, termasuk mereka dari kelompok kurang mampu. "Sejak tahun 2010, program Bidik Misi menjadi program kepedulian kepada masyarakat yang kurang mampu untuk mengakses pendidikan tinggi. Dengan program itu, peserta Bidik Misi akan dibiayai kuliah selama empat tahun dan diberi biaya hidup Rp500 ribu per bulan, bahkan biaya hidup tahun ini Rp600 ribu," katanya.

Untuk tahun 2011, peserta Bidik Misi juga sama jumlahnya yakni 20 ribu, namun Kemdiknas juga meminta universitas negeri juga melakukan program beasiswa yang sama untuk 10 persen mahasiswa di luar program Bidik Misi. "Jadi, kalau tahun lalu hanya ada 10 persen mahasiswa miskin yang dibiayai pemerintah, maka tahun ini juga ada 10 persen tapi universitas juga akan menambah 10 persen dengan beasiswa mereka, termasuk IAIN atau UIN," katanya.

Sementara itu, Rektor ITS Prof Triyogi Yuwono melaporkan pihaknya menargetkan 450 mahasiswa miskin di ITS yang mengikuti program Bidik Misi. "Tapi jumlah itu masih kurang lima persen dan akan kami upayakan sudah tercapai 450 mahasiswa miskin pada tahun ajaran baru nanti," katanya.
Dalam kesempatan itu, Nuh mengajak dialog sejumlah mahasiswa, di antaranya Vera Maya (Surabaya/anak tukang tambal ban), Maladina Elok (Ngawi/anak buruh tani yang ayahnya sudah wafat), Bukhori Muslim (Probolinggo/anak buruh tani/ayah sudah wafat), dan Titin Syafiatul Umma (Lamongan/ayah buruh tani/ibu penjual sayuran).

Redaktur: Krisman Purwoko
Sumber: antara

Masyarakat Bisa Gugat Pemerintah Jika Tak Beri Jaminan Kesehatan


Masyarakat bisa menggugat negara jika pemerintah tak menyediakan jaminan kesehatan masyarakatnya. "Apabila negara atau pemerintah tak jalankan, kita harus menggugat," kata pakar kesehatan masyarakat dan anggota Ikatan Dokter Indonesia, Mahlil Rubi, dalam diskusi bertema "Menggugat Tanggung Jawab Sosial Negara; Jutaan Rakyat Tak Punya Jaminan Kesehatan", Ahad, 19 Juni 2011.


Sedangkan menurut Koordinator Forum Diskusi Lembaga Kajian Kesehatan dan Pembangunan, Dr. Zaenal Abidin, saat ini terdapat 55 persen rakyat Indonesia belum memiliki jaminan sosial. "Artinya, ada 55 persen warga negara yang akan jatuh miskin karena sakit," katanya.

"Orang sakit jangan jadi miskin karena sakit," kata Zaenal. Negara harus menjalankan jaminan sosial seperti diamanatkan Pasal 28 dan Pasal 34 UUD 1945.

Forum diskusi tersebut menyerukan agar pemerintah dan DPR menyegerakan pelaksanaan jaminan sosial dan melakukan reorientasi pembangunan kesejahteraan rakyat yang memprioritaskan pemenuhan kebutuhan mutlak (absolute demand) rakyat bukan hanya kebutuhan dasar (basic demand).

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 (SJSN). Namun, pelaksanaannya masih menunggu pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS). Hingga kini, RUU BPJS masih dibahas di DPR. Pengesahannya telah molor lebih dari dua tahun.

Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2011/06/19/brk,20110619-341727,id.html

Media, Teknologi, dan Kekuasaan


“Sekarang politisi tahu bahwa setiap langkah—kata ataupun ekspresi—akan direkam, dikemas, dan dihubungkan ke seluruh dunia, dalam beberapa menit.” (Edward Luce, Financial Times, 13/6/2008)

Semula, mata kuliah yang diunggulkan di jurusan komunikasi sejumlah universitas adalah Media, Teknologi, dan Masyarakat (Society). Namun, dari satu sesi di dalam mata kuliah itu, yakni yang terkait dengan kekuasaan, kemudian oleh Program Studi Hubungan Internasional FISIP UI dimunculkan menjadi satu mata kuliah sendiri, yakni Media, Teknologi, dan Kekuasaan (Power).

Mahasiswa dengan itu lalu mendapatkan aktualisasi dari penerapan teknologi baru, khususnya di bidang media, dalam kaitannya dengan praksis politik. Ketika hari-hari ini berlangsung rangkaian proses pemilihan presiden AS, contoh aktual tersebut bertambah nyata.

Pada harian ini, Kamis (12/6), peneliti CSIS, Philips J Vermonte, juga menjelaskan beberapa aspek pemanfaatan media untuk pencapaian tujuan politik. Mengutip majalah The Atlantic Monthly edisi Juni 2008, Vermonte menyebutkan bagaimana cara komunikasi politik mengalami transformasi dari masa ke masa. Andrew Jackson, misalnya, membentuk Partai Demokrat saat teknologi cetak mengalami kemajuan pesat pada awal 1800-an. Jackson mengorganisasi editor dan penerbit untuk membentuk parpol. Lalu Abraham Lincoln menjadi tokoh legendaris setelah transkrip kampanye
presidennya disebarluaskan melalui koran yang saat itu berkembang marak di AS.

Pada masa berikutnya, Franklin Roosevelt memimpin AS melalui masa sulit mengampanyekan program New Deal secara efektif lewat pesan radio. Akhirnya, John Kennedy jadi sangat populer setelah debat antarcalon presiden pertama kali disiarkan televisi. Kennedy sejak itu giat memanfaatkan televisi untuk memperkuat citranya.

Media Baru

Memang hal yang tak diragukan lagi, media terbukti merupakan alat efektif untuk menjangkau massa pemilih bagi para kandidat, dan corong bagi pemegang kekuasaan.

Meski sejumlah politisi Indonesia telah gencar menghadirkan diri di media, dari iklan Ketua Umum PAN hingga situs web mantan Ketua Umum Partai Golkar, itu masih merupakan pemanfaatan paling basic.

Bandingkan dengan yang dilakukan kandidat dari Partai Demokrat, Barack Obama, dengan internet. Dengan mengeksploitasi sifat Web 2.0 yang menekankan pada komunitas, tim Obama telah menggelar 30.000 acara dalam 15 bulan kampanye pemilihan pendahuluan. Rekaman video kegiatan yang digelar bisa diakses melalui situs YouTube, My-Space, dan Facebook. Pendukung juga dapat menikmati berbagai pesan kampanye melalui iPod.

Kubu Obama juga menyadari, kampanye politik tak bisa sepenuhnya bersifat ”putih”. Buktinya, Obama diserang dengan berbagai macam isu. Kampanye hitam ini pun ia jawab melalui internet, yaitu dengan meluncurkan situs Fight the Smears (Perangi Cela).

Dengan berbagai kiprah kampanye di internet, Edward Luce menulis, kalau ada medali emas dalam pemanfaatan teknologi baru untuk tujuan politik, maka setiap aficionado akan menyerahkannya kepada Obama (Financial Times, 13/6).

Ide itu masuk akal juga karena kanal Obama di YouTube punya hampir 1.300 video yang dibuat staf kampanyenya, dan itu setiap hari terus bertambah. Dari sisi orang yang melihatnya, video Obama telah ditonton 50 juta orang, sementara kanal YouTube John McCain yang punya 200 video baru ditonton 4 juta orang.

Tiga Manfaat

Menurut Direktur Media Baru Obama Joe Rospars, tim kampanye melihat internet sebagai alat yang bisa untuk mencapai tiga sasaran, yakni membantu mengorganisasi pendukung, mengumpulkan dana, dan menyampaikan pesan (telling the campaign’s story).

Berkembangnya dukungan terhadap Obama di internet juga disebabkan oleh sikap ”silakan saja”, laissez-faire, Obama, di mana pendukung dipersilakan ikut membangun konten kampanye dan bahkan membangun situs pendukung masing-masing, seperti juga kita lihat di Indonesia. Ada yang menyebut, kampanye Obama demikian internetfriendly. Sementara kedua calon lain, dalam hal ini Hillary Clinton dan John McCain, lamban dalam memanfaatkan potensinya. Ada kesan, tim kampanye Hillary menerapkan pengawalan terhadap isi situs mereka (gate-keeping). Padahal, semakin enteng video di era YouTube ini, semakin cepat ia menyebar.Namun, dengan semua kemajuan ini, politisi juga menarik kearifan dari pemanfaatan teknologi baru.

Akan Meluas

Apa pun, kini teknologi baru telah tersedia bagi para aspiran politik yang sedang mendambakan kekuasaan. Memang untuk berbagai negara, terkait dengan infrastruktur yang terpasang, masih banyak dianalisis, mana teknologi yang paling efektif dari teknologi tersebut. Salah satu analisis disampaikan pakar komunikasi Ade Armando dalam Seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia di Banjarmasin pertengahan April silam. Karena internet masih terbatas di kota-kota besar, televisi dan media cetak dipercayai masih pemegang peranan terbesar dalam pemanfaatan teknologi media untuk politik.

Masalahnya, media yang besar pengaruhnya itu juga tidak selamanya bebas nilai. Pada masa lalu, Hitler menjadikan media untuk propaganda besar-besaran bagi cita-cita Nazi-nya (lihat Media and Society in the Twentieth Century, Gorman & McLean, 2003). Orde Baru juga melakukan hal yang sama.

Bahkan, karena besarnya pengaruh media seperti televisi, sosok seperti PM Italia Silvio Berlusconi dan keluarganya mengontrol jaringan penyiaran swasta Mediaset, yang diperkuat dengan tiga kanal terestrial (Financial Times, 13/6).

Selain untuk memengaruhi rakyat pemilih, medium seperti televisi juga besar peranannya dalam penyebaran nilai. Jadi, tidak heran apabila pemilik modal—apalagi yang punya cita-cita politik—tak ragu untuk berinvestasi besar dalam pertelevisian. Di era pemilihan, politisi akan semakin luas memanfaatkan teknologi baru media.

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/18/01335532/media.teknologi.dan.kekuasaan

Krisis Panduan Berbangsa


Mengapa tidak muncul panduan untuk masyarakat di tengah aneka bencana? Mengapa tidak muncul kepemimpinan elite politik yang menumbuhkan solidaritas sosial? Ke mana kerja birokrasi dalam pelayanan publik? Pertanyaan itu muncul di mana-mana, dari taksi hingga warung kopi. Para bijak berujar, perilaku pemecahan masalah di
tengah aneka krisis adalah cermin nilai berbangsa suatu masyarakat dan negara.

Catatan itu menunjuk satu aspek terpenting berbangsa, yakni rendahnya kemampuan panduan komunikasi di tengah krisis sebagai bagian strategi komunikasi berbangsa, baik panduan pemecahan krisis akibat bencana, panduan mengelola krisis solidaritas sosial hingga krisis konflik agama, maupun krisis partisipasi warga atas kebijakan pemerintahan. Pertanyaannya, ada apa dengan panduan komunikasi kita?

Humas dan Jubir

Pada hakikatnya, panduan komunikasi berbangsa mensyaratkan tiga hal. Pertama, ada lembaga yang status dan perannya melakukan sosialisasi dan konsultasi publik kebijakan pemerintah, sekaligus panduan arah kebijakan pemecahan persoalan di tengah aneka krisis. Misalnya, panduan pemecahan bencana banjir atau demam berdarah saat
ini. Sebuah panduan yang mengandung manajemen bencana. Atau dengan kata lain, diperlukan lembaga seperti Departemen Penerangan, tetapi tanpa menjadi alat kontrol dalam perspektif politik komando layaknya era Orde Baru.

Sayang, status dan peran Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) tidak berperan dalam perspektif lembaga penerangan. Aspek penerangan yang diletakkan kepada kehumasan dan juru bicara di berbagai departemen atau struktur pemerintahan, justru mendulang kritik keras, termasuk dari Wakil Presiden sendiri.

Peran kehumasan atau jubir tidak lebih menyiapkan upacara, menunjuk penyelenggara berbagai acara, mengumpulkan wartawan, maupun pendamping pemimpin untuk membawakan map berisi naskah pidato. Padahal, abad ini, seluruh masalah bertumbuh deret ukur dalam skala yang kompleks, termasuk di daerah. Bahkan, aneka masalah di berbagai wilayah lokal senantiasa dalam dimensi tekanan global. Sebut saja kasus Poso hingga gejolak politik di Papua. Dengan kata lain, keterampilan kehumasan seperti deret hitung, masalah dan krisis seperti deret ukur.

Pemberdayaan Masyarakat

Prasyarat kedua, terwujudnya panduan komunikasi publik yaitu tumbuhnya media berkarakter publik, misalnya TVRI, yang berwibawa dan kompetitif terhadap media komersial. Salah satu kewajiban televisi publik adalah meliput kebijakan pemerintah secara kritis dan memprioritaskan program pemberdayaan masyarakat sipil, terutama di tengah situasi bencana.

Sebagai contoh, ketika krisis ekonomi dan politik terjadi di Korea Selatan, skala prioritas utama adalah membangun televisi publik, KBS. Tugas utama KBS, membantu menumbuhkan panduan komunikasi di berbagai kebijakan pemecahan krisis, dibarengi konsultasi publik dan partisipasi pengawasan publik. Sebut, program bantuan santunan
warga miskin, bisa diakses dan didialogkan serta dilaporkan lewat KBS. Atau sebagai contoh kecil di Indonesia, televisi publik pada situasi bencana banjir seperti ini wajib terus menghadirkan peta lalu lintas dan skala banjir, serta jalan-jalan alternatif untuk membantu lancarnya lalu lintas manusia kerja dan menormalkan produktivitas bangsa.

Prasyarat ketiga, panduan komunikasi merupakan produk kesiapan manajemen koordinasi lembaga-lembaga birokrasi dalam pelayanan publik. Karena itu, jika presiden berbicara telah menginstruksikan seluruh lembaga agar menuntaskan suatu masalah, atau juru bicara pemerintah telah menyosialisasikan bahaya banjir, sebenarnya manajemen bencana telah disiapkan dalam kondisi siaga.

Sebutlah tersedia alat-alat berat di daerah longsor, infrastruktur evakuasi di wilayah banjir, bangsal-bangsal darurat di wilayah kemungkinan menyebarnya demam berdarah, serta sentra-sentra berbagai perspektif informasi. Celakanya, meski di suatu wilayah demam berdarah dan longsor terjadi berulang-ulang, kesiapan dasar tersebut juga tidak muncul. Bahkan, pejabat sering mengumumkan kebijakan tertentu, sementara birokrasi belum terkoordinasi.

Pada akhirnya, panduan komunikasi sebagai produk manajemen birokrasi memerlukan kepemimpinan yang dipenuhi rasa krisis itu sendiri. Sayang, hingga kini di berbagai wilayah bencana, masyarakat belum mendapat figur kepahlawanan kepemimpinan birokrasi maupun elite politik.

Bukan Reaksi Spontan

Catatan itu mengisyaratkan, panduan komunikasi berbangsa tidak sekadar reaksi spontan atas masalah, instruksi, dan wanti-wanti seperti iklan layanan masyarakat. Namun, sebagai kerja strategi komunikasi, yang memiliki media publik yang berwibawa dan terakses, diperkuat kehumasan di berbagai lembaga yang terampil, serta kerja pelayanan publik dari birokrasi yang terintegrasi, yang mengandung manajemen sosial dan psikologi krisis, hingga kepemimpinan yang mampu melahirkan solidaritas sosial dan partisipasi publik lewat pemahaman kebijakan.

Kalaupun catatan itu tidak terjadi, harap mafhum, jika kritik, demonstrasi, histeria kepanikan, ketidakpuasan dan apatisme selalu muncul di setiap bencana.

Garin Nugroho Direktur Yayasan Sains Estetika Teknologi (SET)

Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0702/19/opini/3317651.html

Massa Punya Psikologi Sendiri


KETIKA banyak parpol yang mengerahkan massa ke KPU dan dengan beringas menduduki kantor KPU, karena tidak lulus kualifikasi, banyak yang mencemaskan keamanan Pemilu 2004. Apalagi saat banyak caleg yang ikut-ikutan membawa
massa berunjuk rasa ke kantor DPW atau DPP masing-masing gara-gara nomor urutnya digusur dari nomor jadi ke nomor tidak jadi. Langsung para pakar meramalkan, Pemilu 2004 akan berdarah-darah.

Baru Parpol dan caleg gurem saja sudah begitu beringas, bagaimana bila yang nanti kecewa adalah parpol-parpol besar? Bukankah pasti akan terjadi tawuran, begitu massa dari satu parpol berpapasan dengan massa parpol lain? Itu sudah benar-benar terjadi pada masa prakampanye di Bali. Apakah tidak ngeri?

Di sisi lain, sejak dulu saya tidak yakin pemilu akan berdarah-darah. Beberapa korban pasti akan jatuh, misalnya karena kecelakaan lalu lintas akibat kecerobohan anggota massa sendiri (terjatuh dari truk, tergilas roda kendaraan, dan sebagainya), atau tawuran antar kampung yang masyarakatnya sudah musuh bebuyutan sejak dulu, tetapi kali ini
mendapat identitas parpol berbeda. Itu wajar dan sulit dihindari dari fenomena massal yang begitu kolosal seperti Pemilu 2004.

Namun nyatanya, sampai tulisan ini dibuat, belum ada konflik yang signifikan, apalagi sampai mengambil korban nyawa. Di berbagai tempat, arak-arakan berbagai parpol bisa berpapasan. Masing-masing dengan gaya yang sama (motor dibuka knalpotnya, kepala botak atau dicukur dengan nomor parpol jagoannya, muka dicoreng-coreng, dan sebagainya), hanya kaos dan bendera yang berbeda.

Pada tahun 1999 dan sebelumnya, dua kelompok massa yang berhadapan pasti akan langsung bertempur. Tetapi kini, paling hanya saling memberi salam, melambaikan tangan, dan melempar senyum. Bahkan yang saya lihat sendiri di Jakarta, beberapa sepeda motor berbendera Partai Demokrat "terjebak" arus rombongan besar PDI-P yang serba merah dan tidak terjadi apa-apa. Bahkan "oknum-oknum" Partai Demokrat itu dengan santai mengikuti arus merahnya PDI-P, sambil sesekali ngobrol dengan peserta arak-arakan dari PDI-P yang kebetulan di sebelahnya. Jadi, saya yang kebetulan
sedang ada dalam bus way seakan melihat lautan merah dengan riak-riak biru muda di sana-sini.

Mengapa tidak rusuh?

Pertanyaan ini perlu dijawab dengan jelas, karena justru kampanye damailah yang terjadi, bukan rusuh seperti banyak diperkirakan para pakar sebelumnya. Beberapa jawaban yang sering dilontarkan terhadap pertanyaan ini antara lain rakyat sudah jenuh dengan kekerasan, rakyat sudah tambah pandai dan mengerti, dan rakyat sudah bosan dibohongi partai dan politisi busuk. Jawaban-jawaban itu tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Karena, rusuh massa akhir-akhir ini melanda hampir semua bagian dunia, termasuk negara maju yang rakyatnya sudah lebih terdidik. Dalam Psikologi Sosial, ada teori yang menyatakan, massa itu bersifat irasional, emosional, impulsif, agresif, dan destruktif. Dengan kata lain, menurut teori yang antara lain dikemukakan G Le Bon ini, suatu massa yang "jinak" (seperti pengunjung pasar, atau penonton bioskop) bisa tiba-tiba beringas jika ada pemicu. Inilah mungkin yang menyebabkan para pakar tergoda menilai pemilu sebagai pemicu yang potensial.

Meski demikian, ada satu hal yang sering luput dari pengamatan para pengamat, yaitu tidak setiap hal (termasuk pemilu) bisa memicu kerusuhan. Menurut teori perilaku massa dari N Smester, misalnya, pemicu hanya salah satu faktor, sekaligus faktor terakhir dari seluruhan enam faktor yang menjadi prasyarat untuk terjadinya perilaku massa.
Kelima faktor lain di luar faktor pemicu itu adalah :
(1). Tekanan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, biaya hidup, dan pendidikan yang mahal.
(2). Situasi yang kondusif untuk beraksi massa, seperti pelanggaran tidak dihukum dan diliput media massa.
(3). Adanya kepercayaan publik, dengan aksi massa situasi bisa diubah.
(4). Peluang (sarana dan prasarana) untuk memobilisasi massa; dan
(5). Kontrol aparat yang lemah.

Dari kelima faktor itu, yang paling tidak terpenuhi adalah faktor keyakinan publik. Benar, aksi-aksi mahasiswa dan pemuda membawa beberapa perubahan politik yang amat signifikan di tahun 1908, 1928, 1945, dan 1966. Tetapi kenyataan membuktikan, sejak 1998, aksi-aksi mahasiswa hanya bisa menjatuhkan tiga presiden berturut-turut dalam waktu dua-tiga tahun, tanpa memberi perubahan bermakna pada peningkatan taraf kehidupan rakyat sendiri. Kurs dollar naik, inflasi makin parah, bunga bank melambung, pengangguran makin banyak, dan sebagainya. Malah perbaikan justru mulai tampak pada zaman Presiden Megawati yang relatif stabil. Maka, massa pun tidak percaya lagi aksi massa akan membawa perubahan. Dengan demikian, kampanye pemilu tidak
bisa memicu kericuhan.

Pemilu 2004 berbeda

Hal lain yang kurang dicermati pengamat adalah Pemilu 2004 berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Perbedaannya bukan hanya dalam pemilihan anggota DPD dan pemilihan presiden langsung, tetapi keseluruhan proses pelaksanaan yang tidak lagi dijalankan pemerintah dan aparat keamanan saja, tetapi oleh pihak-pihak independen nonpemerintah, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwas).

Dengan adanya anggota-anggota KPU dan Panwas, dari pusat sampai daerah yang independen dan di-fit and proper: DPR/DPRD sendiri, maka tidak ada yang bisa dijadikan sasaran kemarahan massa jika terjadi sesuatu. Kedaulatan
rakyat sudah diberi kesempatan untuk melaksanakan sepenuhnya, dan jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaan, rakyat sendirilah yang salah, bukan orang lain. Apalagi pemerintahnya (dari presiden sampai menteri-menteri) hampir seluruhnya adalah orang-orang partai belaka.

Kesadaran yang begitu tinggi, tak akan mungkin terjadi tanpa ada keterbukaan pers yang sudah terlaksana sejak era reformasi. Meski kadang pers kebablasan, kebebasan pers yang sudah dipraktikkan mau tidak mau telah memberi informasi amat banyak, dan lengkap kepada masyarakat. Hal yang tidak pernah terjadi di era serba sensor semasa Orde Baru.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ramalan-ramalan tentang rusuh massa yang bakal terjadi dalam Pemilu 2004, lebih didasarkan paradigma lama, khususnya pada prakiraan-prakiraan yang dikembangkan dari pemikiran dan perasaan sendiri. Padahal, massa mempunyai pemikiran dan perasaan berbeda. Dengan kata lain, massa punya psikologi sendiri.

Sarlito Wirawan Sarwono Guru Besar Psikologi UI
Sumber: Kompas Cyber Media