Pages

Media Massa, Pemerintah dan Humas

Media massa sering dikatakan memiliki peran sebagai "anjing penjaga" dan berdiri di sisi yang berlawanan dengan pemerintah. Salah satu manfaat utama pers yang bebas dalam sistem demokrasi sering dinyatakan dengan kewajiban untuk menyediakan informasi pada masyarakat mengenai kinerja pemerintah.

Tetapi, sukar ditemukan alasan yang mendasari pers sebagai "anjing penjaga" kinerja pemerintah. Istilah tersebut mengesankan bahwa pers telah menjadi perwakilan dari rakyat untuk 'menjaga' dan 'memerhatikan' kinerja pemerintah. Dengan asumsi itu, pemerintah terkesan selalu salah, sementara pers selalu benar. Pers pun memandang bahwa institusinya berdedikasi tinggi apabila sukses memperlihatkan 'kegagalan' pemerintah. Dengan senang hati, pers memublikasikan informasi yang bisa meningkatkan oplah, mengisi komersial slot tanpa khawatir bahwa yang dipublikasikan dapat berdampak buruk pada masyarakat. Kenyataannya, pers pada umumnya adalah institusi swasta yang berorientasi pada laba.

Pers itu bebas, termasuk untuk berpihak. Contohnya, sebuah media massa dapat mendukung semua kebijakan pemerintah atau mungkin menentang kebijakan lainnya. Atau bisa saja bersikap mendua terhadap suatu kebijakan, kadang bersikap pro dan kadang bersikap kontra. Sebuah media massa bisa menentukan diri sebagai lawan pemerintah, atau sebagai 'pengawal' kebijakan pemerintah. Sebuah media massa dapat mengritisi dan menentukan bagaimana suatu kebijakan menjadi kesalahan. Media massa dapat bertindak sebagai "anjing penjaga" atau "senjata" untuk mendukung atau sebaliknya menyerang pemerintah.

Suara pemerintah bisa menjadi bahan perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur media. Pernyataan pemerintah segera ditanggapi dalam tajuk rencana yang menginterpretasikan apa yang 'sebenarnya' dikatakan oleh pejabat tersebut dan apa yang 'sebenarnya' dimaksudkan. Sayangnya, kadang interpretasi tersebut cenderung premature dan instant. Analisis instan segera menjadi bias instan. Distorsi kerap terjadi hingga menyesatkan masyarakat. Hal-hal demikian berdampak negatif pada pemberitaan mengenai pemerintah.

Benarkah pemerintah membutuhkan pers sebagai kanal informasi untuk masyarakat? Benarkah pemerintah tanpa pers benar-benar tidak berdaya untuk menyosialisasikan kebijakan dan pelayanan publik? Benarkah hubungan yang terjalin antara media massa swasta dan pemerintah layak dijalankan meskipun ada kemungkinan besar terjadi pengemasan berita yang bias hingga mengarah pada runtuhnya kepercayaan masyarakat?

Kenyataannya, banyak jurnalis bergantung pada aparat pemerintah untuk pemberitaan. Faktanya, semua informasi yang diberitakan oleh media massa tentang pemerintah didapat dari (bahkan divalidasi oleh) pejabat pemerintah, termasuk mengenai event-event nasional, kecuali bila mereka mendapat informasi dari sumber berita otoritas berwenang. Secara tradisional, jurnalis tergantung serta harus bekerja sama dangan sumber resmi pemerintah. Pemerintah memberikan respons dengan menyediakan informasi yang padat dan seimbang, undangan untuk berpartisipasi pada berbagai kegiatan, bahkan menyediakan 'tunjangan' demi menghindari publikasi negatif. Ungkapan "WTS" (Wartawan Tanpa Surat Kabar), Wartawan CNN (Wartawan Cuma Nanya-nanya) pun tetap populer di kalangan jurnalis yang sering mencari berita di instansi-instansi pemerintah. Agar masyarakat menerima informasi yang jernih dan berimbang, pemerintah harus lebih melibatkan diri dalam dunia media massa.

Peran Humas

Pemerintah saat ini telah memiliki kapasitas untuk mengungkapkan informasi secara langsung. Kembalinya Departemen Penerangan dengan kemasan baru, kehadiran beragam situs resmi instansi pemerintah yang telah menghabiskan anggaran miliaran rupiah, kehadiran puluhan media massa internal pemerintah serta beragam jurnal menunjukkan kemampuan pemerintah menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Dhus, pemerintah sebaiknya mulai mengurangi peran instansi swasta dalam pemberian informasi.

Hampir seluruh instansi pemerintah memiliki kantor humas, divisi yang melakukan manajemen media massa, pembangun citra, jembatan pemerintah dengan masyarakat, serta penghubung pemerintah dengan pers. Kantor humas telah melakukan publikasi internal, memberdayakan kantor-kantor wilayah serta unit pelayanan teknis agar berperan sebagai outlet informasi. Pejabat humas pemerintah sebenarnya memiliki kemampuan bersaing dengan editor institusi swasta, khususnya dalam uji kompetensi. Tetapi, citra pegawai negeri sipil selama ini selalu dianggap korup dan terlalu santai. Kesan negatif pun telanjur menancap di benak masyarakat kita. Citra warisan yang telah berumur puluhan tahun yang semestinya diubah.

Sebelum bola reformasi bergulir, pemerintah memiliki imej sebagai manipulator informasi. Bahkan setelah reformasi, imej ini tidak banyak berubah. Pemerintah seolah dianggap 'musuh' yang harus dilawan. Dengan bergulirnya reformasi, pemerintah menransformasikan diri agar menjadi pemerintahan yang bersih dan benar.

Masyarakat telah memahami hak-haknya yang sekaligus juga menjadi kewajiban pemerintah. Dalam bidang pelayanan publik, masyarakat menuntut sistem pemerintahan yang bersih dan transparan. Masyarakat berhak atas akses informasi, sebaliknya pemerintah wajib menjamin akses tersebut terjaga dan terkontrol agar tidak menimbulkan ekses negatif akibat eksploitasi pemberitaan yang bombastis. Karena, pada akhirnya rakyat juga yang dirugikan.

Wajah aparat birokrasi kita yang memang carut-marut sudah saatnya diperhatikan melalui perbaikan gaji sekaligus perbaikan kinerja dengan terus meningkatkan citra pegawai negeri dan membangun sistem yang transparan. Tentu implementasinya tidaklah mudah karena tradisi yang tercipta selama puluhan tahun.

Seiring dengan perubahan menuju tatanan baru demokrasi, reformasi segala bidang termasuk di dalamnya reformasi performa pegawai negeri, sistem kehumasan serta sistem hubungan dengan media massa, maka memberdayakan divisi humas untuk mengubah citra aparat birokrasi agar lebih tanggap menyikapi fenomena masyarakat, sangat penting. Perkembangan teknologi informasi menuntut divisi humas dituntut lebih responsif terhadap keluhan masyarakat.Bahwa institusi pemerintah tidaklah seburuk yang disangka dan pegawai negeri adalah juga rakyat Indonesia. Seyogianya kantor-kantor humas memang harus diberdayakan untuk menjaga nama baik aparat pemerintah serta menjalin kerja sama dengan pers agar tercipta pemberitaan yang berimbang, bermanfaat, dan bertanggung jawab. ***

Oleh: Fatma Puspita Sari, pegawai negeri sipil, alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi Massa,
Fakultas Sospol Universitas Sebelas Maret Solo.

Merebut Makna, Belajar Bahasa Kehidupan

DALAM bahasa yang kita gunakan, kata Ludwig Wittgenstein, ahli filsafat bahasa dari Austria, tersirat suatu orientasi hidup yang bukan saja mencakup konsep yang kita anut mengenai sekitar, melainkan juga perasaan, nilai, pikiran, kebudayaan, hingga takhayul. Bahasa amat penting. Ialah yang menentukan hubungan dan pergaulan dalam segala segi di masyarakat.

Dengan bahasa kita dapat menyembunyikan dan mengungkap pikiran, dengan bahasa pula kita mencipta dan menyudahi konflik. Karena bahasa, kita menyerahkan cinta dan dengannya pula kita mengumumkan perang. Singkatnya, bahasa adalah petunjuk kehidupan dan gambaran dunia kita. Padanya ditemukan analisis objektif kehidupan kita.

DENGARKAN laporan dan berita di televisi, bising ujaran di kampus, dan saksikan kemampuan baca tulis di hampir semua lapisan. Kalimat yang tidak koheren, ejaan serampangan, pilihan kata yang bersalahan sampai ke kisah yang tidak berkembang dan mudah ditebak apalagi tidak imajinatif, ditemukan di banyak terbitan. Buku yang amat diminati, bahkan dipenuhi bahasa lisan.

Deskripsi-deskripsi serupa ini, "Seharian di rumah terus, keluar rumah kalo kuliah aja. Kalo nggak ada kuliah? Ya ngurung diri di kamar masing-masing. Kalo nggak belajar, ya tidur. Seringnya malah belajar sambil ketiduran. Aneh juga, ya? Nggak biasanya anak kos yang centil-centil itu nggak bertingkah. Biasanya, begitu denger ada sale di mal atau ada pagelaran konser musik oke, hebohnya sejak dua bulan sebelumnya." bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada yang salah dengan pengguna bahasa Indonesia.

Tentu saja contoh itu tidak mungkin dipahami dengan cara pukul rata, apalagi dari satu segi saja. Sekilas contoh itu dapat diterima sebagai hasil pendidikan yang semrawut, dapat juga mewakili jiwa yang ingin bebas. Tampak ketidakpedulian, terasa pelecehan, dan keduanya memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak dianggap penting juga tak berharga bagi pemiliknya. Tetapi, bila kita percaya pada bahasa sebagai buah pikiran, alat logika untuk meramu idiom demi penyampaian pikiran dan perasaan, cara berbahasa harus dikaitkan dengan kemampuan berpikir. Kecermatan dan kesantunan berbahasa dengan begitu, adalah cerminan nalar dan budaya seseorang.

Hal itu mengantar kita pada sekolah yang mendidik siswa mampu membaca dan menulis dalam pelajaran bahasa Indonesia. Apakah yang terjadi di sekolah? Apakah dengan semua upaya, dana, waktu, dan tenaga yang dicurahkan, kita hanya akan menuai kegagalan? Bagaimanakah caranya mengelola mata pelajaran bahasa Indonesia sehingga menarik dan dapat berbekas pada siswa? Adakah jalan sehingga dengan belajar bahasa siswa menemukan minat dan dengan begitu dapat mengembangkan potensinya apalagi menemukan jati dirinya?

Pertama, harus dipercaya, belajar bahasa yakni membaca, menulis, dan berbicara adalah bagian dari proses berpikir. Dengan bahasa, siswa dimampukan berpikir kalau boleh hingga ke tataran yang rumit karena tersedianya sebuah struktur untuk mengekspresikan dan mengenali hubungan antarkonsep dan dengan itu ia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam pelajaran bahasa, siswa belajar tentang bagaimana berkomunikasi sambil mengenali cara berpikir yang sesuai budaya bahasa yang dipelajarinya. Karena itu, semua upaya di kelas dikerahkan untuk memampukan komunikasi dan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Contoh keseharian tulisan membuktikan bahwa siswa tak biasa dan bisa berpikir. Bercakap dan berkomunikasi juga sulit bagi banyak orang. Hal yang sama tampak pula pada bacaan mereka.

Kedua, karena bahasa adalah pikiran dan perasaan yang lahir dari sebuah budaya dan dunia, maka siswa hanya akan terlibat dalam pelajaran bahasa kalau ia diperlakukan sebagai subyek, diizinkan masuk secara aktif dalam dunia yang sedang dibacanya, dan membuat bacaannya menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai membaca dan menulis yang tumbuh dari gerakan dinamis "membaca dunia", yaitu berbincang tentang pengalaman, berbicara bebas dan spontan, dan tidak memisahkan membaca dan menulis huruf dan kata dari membaca dan menulis kehidupan.

Ketiga, dengan kerendahan hati guru perlu menyadari pentingnya peningkatan pengetahuan tentang siswa, mengenai bahasa yang diajarkan dan harus diyakini, apalagi perihal kehidupan sebagai sumber dan alasan pentingnya berbahasa dan menjadi manusia. Guru perlu sabar dan toleran menghadapi dan menerima siswa dan senantiasa tak sabaran untuk memberikan yang terbaik. Dengan menyadari kompleksitas perkembangan siswa, para penentu keberhasilan diharapkan mengasihi siswanya secara afirmatif, sekaligus dapat menerima dan mendorongnya berbuat lebih banyak, yang membuatnya makin bertanggung jawab atas tugasnya. Kualitas itu menguatkan guru untuk memotivasi siswa menginterpretasi bacaannya, merebut makna dan menulis ulang apa yang dibacanya, dan berubah karenanya.

SAYANG, Uji Coba Ujian Akhir Nasional Bahasa Indonesia SLTP 20 April 2003 lalu menunjukkan betapa pendidikan bahasa di Indonesia masih menganut konsep perbankan, karena ujian direkayasa melulu untuk memeriksa apa yang diterima siswa-yang dideposito para guru-apa yang mereka kunyah dan hafalkan. Soal pilihan ganda tentu meniscayakan pengetahuan tentang bahasa bukan keterampilan berbahasa.

Penyempitan makna, kalimat berobyek, kata ganti, keterangan kesalingan, hubungan pengandaian, makna akhiran, kalimat majemuk antara lain diujikan. Hal dilematis timbul saat siswa harus menentukan watak tokoh dalam karya sastra berdasarkan hanya satu alinea.

Sebuah karya terbitan tahun 30-an, tentang seorang tokoh berumur 27 tahun yang merisaukan jodohnya, sudah jelas jauh dari dunia anak SLTP. Dari ujian ini tampak kebutuhan siswa diabaikan, disangka berpikir alih-alih dibiarkan menebak, dan masih diperlukan cara melibatkan perasaan dan minat mereka.

Jadi, apakah yang dapat dilakukan, dan perubahan manakah yang diperlukan? Pusat pengajaran bahasa haruslah siswa, demi pemahaman, minat, dan kebutuhan mereka. Siswa penuh dengan bahasa dan amat gembira belajar. Kemampuan mereka mengonstruksi makna juga istimewa sehingga para pengajar bisa dengan mudah menjadi pembelajar ketika berhadapan dengan siswa. Karena yang utama dalam pelajaran bahasa adalah kebersatuan bacaan, tulisan, dan ujaran siswa dengan dunia yang hendak dikenalinya, maka guru perlu menjadi satu dengan siswa, punya kegirangan menjelajah mengenali kehidupan, ingin tahu dan suka berkelana.

Pengajaran bahasa dengan demikian adalah upaya melibatkan murid, yang tidak bisa diperlakukan melulu sebagai pelatihan teknis, tetapi harus menghubungkannya dengan perasaan, minat, dan kebutuhan mereka. Keberhasilannya tergantung dari partisipasi dalam dialog yang terencana.

Untuk itu, dua jam pertama setiap hari di sekolah hendaknya dipersembahkan untuk bahasa, dan sepanjang hari upaya bernalar, mempertimbangkan rasa dengan mengedepankan keperluan siswa menjadi utama. Karena membaca dan menulis adalah cara untuk menemukan arah dan arti, keindahan dan keintiman hidup yang dapat mencipta dan membangun kehidupan siswa. Hanya dengan mengajar bahasa dengan benar kita membantu anak mendapatkan haknya sebagai anggota keluarga umat manusia.



Riris K Toha-Sarumpaet Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/292386.htm

Memaknai Peristiwa Hidup

Kalimat bijak diatas mungkin sangat mudah dimengerti. Tetapi ketika mengalami kegagalan maka hanya sedikit individu yang bisa mengaplikasikan makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Sama halnya dengan kata bijak yang lain: "Kegagalan adalah sukses yang tertunda". Benarkah?


Gagal & Sukses

Jika kita mengacu pada kisah kehidupan orang sukes yang kita kenal dan diperkenalkan oleh sejarah maka cenderung diperoleh kesimpulan yang sama bahwa kegagalan adalah peristiwa potensial yang bersifat netral, ‘hidden potential events’ yang tidak memiliki makna tertentu kecuali setelah diberi pemaknaan oleh kita: nasib, takdir, siksaan, cobaan, tantangan atau pelajaran. Apapun makna yang dibubuhkan pada akhirnya akan kembali pada formula bahwa hidup ini lebih pada memutuskan pilihan dan merasakan konsekuensi.

Berdasarkan hidden potential events tersebut maka bisa dimengerti jika Abraham Lincoln baru mencapai cita-cita politiknya pada usia 52 tahun; Soichiro Honda yang sampai cacat tangannya gara-gara mendesain piston; atau Werner Von Braun penemu roket yang menyebut angka kegagalan 65.121 kali. AMROP International, perusahaan pencari eksekutif senior yang berkantor di 78 negara di dunia termasuk Indonesia, pernah mengeluarkan catatan tentang fluktuasi emosi pencari kerja dari sejak di-PHK sampai menemukan pekerjaan baru. Dihitung, fluktuasi naik-turun itu terjadi sebanyak 26 kali dengan asumsi waktu minimal enam bulan.

Pendek kata, gagal dan sukses adalah ritme hidup yang tidak terpisah dari kehidupan semua orang. Lalu apa pembeda antara perjuangan tiada akhir (unstoppable) yang menghasilkan para "pengubah" dunia dengan perjuangan yang dikalahkan rasa putus asa karena kegagalan yang barangkali terjadi hanya sepersekian persen?

Menyikapi Kegagalan

Penyikapan individu pada momen di mana kegagalan terjadi dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Membiarkan
Model penyikapan ini adalah menerima kegagalan dengan kualitas yang rendah berupa membiarkan saja semua terjadi. Sikap ini dihasilkan dari mentalitas yang rendah untuk mendobrak keadaan karena tidak memiliki kemauan yang dibangkitkan di dalam untuk menemukan penyebab yang rasional. Bisa jadi kemauan itu erat kaitannya dengan level pengetahuan dan harapan yang dimiliki orang. Karena jawaban rasional tidak ditemukan, maka cara tunggal yang digunakan untuk memaafkan sikap demikian adalah menempatkan kegagalan dalam wilayah hidup yang tak tersentuh oleh upaya dirinya dengan meyakini titah takdir atau nasib.

2. Menolak
Model penyikapan kedua adalah menolak kegagalan.Penolakan itu dilakukan dalam bentuk menyalahkan orang lain, keadaan atau Tuhan sekalipun, karena dirasakan tidak adil memberi perlakuan. Biasanya penolakan itu terjadi akibat keseimbangan hidup yang kurang mendapat perhatian di tingkat intelektual, emosional atau spritual. Meskipun kegagalan dapat dilumpuhkan, tetapi akibat penolakan yang dilakukan, keseimbangan antara usaha dan hasil tidak sebanding. Jika diambil perumpaan maka model hal ini adalah ibarat orang membunuh nyamuk dengan sepucuk pistol.

3. Menerima
Model penyikapan ketiga adalah yang paling ideal yaitu menerima kegagalan dengan kualitas yang tinggi. Di sini kegagalan adalah materi pembelajaran-diri atau kurikulum pendidikan situasi. Daam hal ini tentu saja bukan berarti bahwa semakin banyak kegagalan semakin bagus tetapi yang ingin difokuskan adalah bagaimana individu menempatkan kegagalan sebagai proses yang menyertai realisasi gagasan. Bisa jadi fakta fisik menunjukkan peristiwa yang belum / tidak berjalan seperti yang diinginkan oleh perencanaan akan tetapi orang seperti Edison atau orang lain yang bermazhab-
hidup sama merebut tanggung jawab untuk mengubah hidup dari cengkraman fakta fisik temporer itu. Seperti dikatakan Dr. Denis Waitley: "There are two primary choices in life: to accept conditions as they exist, or accept the responsibility for
changing them."

Munculnya penyikapan yang beragam di atas tidak terjadi secara take for granted begitu saja tetapi dibentuk oleh sekian
faktor antara lain:

a. Lingkungan
Termasuk dalam kategori lingkungan adalah keluarga, masyarakat dan bangsa di mana kita menjadi salah satu komponen yang ikut mempengaruhi dan dipengaruhi. Kualitas model penyikapan lingkungan terhadap persoalan hidup secara umum tergantung tingkat pendidikan, nilai kebudayaan, atau peradaban yang membentuknya. Orang yang dibesarkan oleh lingkungan berbeda bagaimana pun punya format pandangan berbeda tentang persoalan hidup.

b. Sistem Struktural
Selain lingkungan, faktor sistem struktural yang mengatur organisasi, lembaga, atau perkumpulan sosial tertentu juga ikut andil terutama membentuk karakter mentalitas individu dalam menghadapi hidup dan kegagalan pada khususnya. Mentalitas tinggi akan membentuk kepribadian di mana seseorang menjadi ‘the cause’ dari peristiwa hidup sementara
mentalitas rendah akan membentuk kepribadian sebagai ‘the effect’.

c. Personal
Meskipun tidak bisa dinafikan pengaruh yang dimiliki oleh faktor lingkungan dan sistem struktural, tetapi pengaruh tersebut hanya bersifat menawarkan dan hanya faktor personal-lah yang menentukan keputusan. Sudah jelas kita rasakan, tidak semua pengaruh itu murni negatif atau positif sehingga peranan terbesar terdapat pada kemampuan kita untuk menghidupkan tombol ‘seleksi’ dan ‘pengecualian’ dalam memilih model penyikapan untuk mendukung di antara yang bekerja untuk merusak atau mandul.

Memaknai Kegagalan

Tidaklah benar jika dikatakan bahwa ketidakmampuan seseorang mengambil manfaat dari hidden potential yang terjadi dalam suatu peristiwa yang menyebabkan kegagalan semata-mata karena faktor negatif yang diwariskan oleh lingkungan atau sistem struktural yang ada dalam masyarakat. Justru yang dibutuhkan adalah bagaimana kita menciptakan model penyikapan ketiga yang dihasilkan dari pemahaman tentang cara kerja hidup dan dunia. Dalam hal memaknai kegagalan, kesengsaraan, atau peristiwa menyakitkan lainnya, maka langkah-langkah yang kemungkinan besar dapat membantu adalah:

1. Menciptakan Kondisi

Makna tidak datang sendiri tetapi sebagai hasil yang diciptakan oleh usaha untuk menemukannya, dalam arti menciptakan kondisi dengan kesadaran bahwa kita sedang menjalani pendidikan situasi untuk mematangkan diri. Kualitas conditioning akan sebanding dengan benefit yang tersimpan di baliknya. Sebelum Ir. Ciputra bercerita riwayat hidupnya dari kecil, rasanya semua orang membayangkan betapa enaknya menjadi sosok yang menyandang sebutan maestro property Indonesia atau Asia Pasifik. Tetapi dengan pengakuan bahwa dirinya adalah manusia yang tidak tahu di mana seorang ayah dimakamkan oleh penjajah kala itu yang akhirnya membuat Ciputra kecil berusia 12 tahun harus hidup tanpa bimbingan ayah, barulah kita sadar bahwa balasan yang diterimanya sekarang ini adalah balasan setimpal. Bocah kecil bernama Ciputra harus jalan kaki sepanjang 7 km karena tujuannya menyelesaikan sekolah dasar. Kata kuncinya bukan pada kematian seorang ayah di sel penjara penjajah akan tetapi kesadaran bahwa dirinya harus merumuskan tujuan, visi, dan misi hidup seorang diri. Andaikan situasi serupa dihadapi oleh kita sendiri, belum tentu kita berani buru-buru membayangkan alangkah enaknya menjadi sosok Ir. Ciputra.

2. Menciptakan Perbedaan

Model penyikapan ketiga yang membedakan model pertama dan kedua pun juga tidak disuguhkan tetapi diciptakan oleh kualitas pembeda dalam mengembangkan sembilan sumber daya inti di dalam diri yaitu:
Sumber daya material: fisik, raga
Sumber daya intelektual: nalar
Sumber daya emosional: sikap perasaan
Sumber daya spiritual: hati, rohani
Sumber daya mental: daya dobrak
Sumber daya visual: imajinasi
Sumber daya verbal: komunikasi
Sumber daya social: relationship

Sumber daya dukungan eksternal: lingkungan dan sistem struktural
Banyak hal-hal kecil yang dapat membantu memperbaiki model penyikapan tetapi luput untuk dijalankan karena sifat manusia yang ingin ‘jump to conclusion’ mendapatkan hasil yang besar. Di antaranya adalah kesadaran mendengarkan musik, olah raga, membaca, doa, meditasi, relaksasi senyuman, tepuk tangan atas keberhasilan orang lain, dan lain-lain.

3. Menggunakan Kemampuan Baru

Hasil akhir dari pembelajaran diri dengan menjalani pendidikan situasi adalah memiliki kemampuan baru, baik kemampuan hardware skill dan software skill atau makna lain yang anda temukan. Tetapi balasan setimpal dari situasi yang kita rasakan menyakitkan adalah menggunakan kemampuan tersebut untuk menambah nilai plus, competitive advantage, diri kita bagi orang lain. Salah seorang yang pernah berhasil menggunakan kemampuan baru itu adalah prof. Hamka. Mungkin – ini hanya pengandaian – kalau tidak dijebloskan ke penjara, buku tafsir yang menjadi karya fenomenal Hamka tidak pernah rampung. Kalau tidak pernah bangkrut yang membuatnya hidup menggelandang sampai usia 40 tahun, mungkin karya berseri berjudul “The Chicken Soup for Soul” yang saat ini banyak terpampang di sejumlah toko buku di dunia tidak akan dihasilkan oleh Mark Victor Hensen.Tentu bukan penjara atau hidup menggelandang yang membuat kedua sosok di atas merasakan balasan setimpal, tetapi pembelajaran diri dalam memaknai setiap peristiwa hidup yang terjadi justru menjadi kunci untuk mengembangkan sumber daya di dalam diri masing-masing dan hasilnya digunakan demi kesejahteraan orang banyak.Akhir kata, sebaik-baiknya seseorang maka akan sangat baik jika ia dapat belajar dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa hidup guna memberikan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Selamat menemukan makna dari peristiwa hidup yang anda alami guna menciptakan competitive advantage bagi diri sendiri dan bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak.(jp)

Oleh: Ubaydillah, AN
Sumber: Informasi Psikologi Online