Pages

25 Persen Penduduk Pesisir Aceh Hidup di Bawah Garis Kemiskinan


Sebanyak 25 persen penduduk pesisir di Aceh dilaporkan masih hidup di bawah garis kemiskinan atau belum sejahtera. Padahal, Provinsi Aceh memiliki garis pantai 2.666,27 km dan wilayah laut kewenangan 43.339,83 km2 atau merupakan wilayah pesisir terbesar di Pulau Sumatera.

"Tetapi sayangnya kekayaan alam ini belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat," ujar Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar menyimpulkan fakta yang terungkap dalam dialog Lingkungan Hidup bertema: "Penyelamatan Kawasan Pesisir dan Lautan Aceh dari Kerusakan" di sekretariat Walhi Aceh, Kamis (16/6).

Kegiatan yang diselenggarakan dalam rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup ini merupakan kerja sama antara Walhi Aceh, Muslim Aid Indonesia dan Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA).

Muhammad Zulfikar menyatakan kawasan pesisir Aceh yang meliputi 18 kabupaten/kota, merupakan anugerah yang luar biasa besar. Namun sayang, sumber daya alam yang menjanjikan ini ternyata belum mampu mengangkat taraf kehidupan masyarakat pesisir.

Hasil kajian Walhi, memperlihatkan semua wilayah Aceh semakin rusak dan kalau hal ini terus dibiarkan, maka bisa terjadi situasi darurat ekologis. Kerusakan ini memperburuk kesejahteraan masyarakat Aceh terutama di kawasan persisir.

Dia juga menyinggung mengenai berbagai peraturan, qanun dan regulasi lain yang mengatur lingkungan hidup termasuk pesisir. Berbagai peraturan yang sudah susah payah dibuat ini ternyata dilanggar begitu saja termasuk oleh pembuatnya. "Mereka yang buat aturan mereka yang langgar. Qanun-qanun ini masih terkubur (belum digunakan-red) mari kita bangkitkan dari kubur," ujar TM Zulfikar.

Dikatakan, kerusakan pesisir tampak nyata kerusakannya di depan mata. Untuk kawasan kota Banda Aceh saja misalnya, hutan mangrove yang ada sudah semakin rusak. Dulu kawasan Lampaseh merupakan hutan bakau yang lebat, sehingga menghalangi pemandangan ke arah pantai. "Ini merupakan salah satu indikasi baik-buruknya kawasan pesisir. Tercatat 75 persen hutan magrove di Aceh hancur," ujar Zulfikar.

Kritisi

Direktur Walhi Aceh ini kembali mengkritisi kebijakan pemerintah yang mengandalkan sektor pertambangan untuk pertumbuhan ekonomi. Seharusnya sektor lain seperti sektor perikanan bisa menjadi sektor andalan. "Tapi sayangnya sektor perikanan masih tertatih-tatih," ujar Zulfikar sembari menambahkan ini semua terkait dengan lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang mengelolanya.

SDM kelautan harus dioptimalkan agar kemiskinan akut masyarakat pesisir bisa dihilangkan. Jika upaya penyelamatan lingkungan dapat dilakukan secara maksimal maka kesejahteraan manusia pun semakin terjamin.

Kasi Pengelolaan Pesisir, Pulau-pulau Kecil dan Konservasi Taman Laut, Abdus Syakur, pada kesempatan itu memaparkan ancaman yang dihadapi oleh perikanan Aceh. Provinsi Aceh memiliki garis pantai 2.666,27 km dan wilayah laut kewenangan 43.339,83 km2, merupakan wilayah pesisir terbesar di Pulau Sumatera.

Jumlah nelayan Aceh saat ini diperkirakan 61.768 orang dengan 58 persen adalah nelayan tetap dan sisanya adalah nelayan paruh waktu. "Akibat dari kemiskinan ini masyarakat berusaha mencari nafkah dengan merusak, misalnya dengan menebang hutan mangrove atau menangkap ikan pakai bom dan sebagainya,"ujar Abdus Syakur.

Fakta lain yang disampaikannya adalah saat ini telah terjadi penurunan penutupan terumbu karang 7 persen dalam 3 tahun terakhir. Bila berlanjut terus dalam kurun waktu 15 tahun terumbu karang di Aceh akan habis. "Ini akan berakibat pada penurunan produktifitas ikan dan hasil tangkapan laut lainnya," kata Abdus Syakur.

Dikatakan, kawasan yang memiliki terumbu karang paling baik adalah Aceh Selatan, sedangkan hutan bakau yang memiliki kerapatan tertinggi berada di Lhokseumawe dan Bireuen. Tapi semuanya kini berada dalam posisi terancam menjadi tambak.

Ancaman-ancaman ini muncul karena pertumbuhan penduduk dan aktifitas masyarakat. Keterlibatan banyak pihak sangat diharapkan dalam pengelolaan kawasan pesisir Aceh sehingga diharapkan pengelolaan yang baik akan memberikan dampak meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

Akademisi dari Jurusan Kelautan Fakultas MIPA Universitas Syiahkuala, DR. Nurfadli, berpendapat bahwa masyarakat yang miskin menjadikan mereka merusak lingkungan. "Hidup masyarakat kita terlalu miskin sehingga masyarakat melakukan kegiatan yang merusak lingkungan," ujar Nurfadli.

Tidak ada negara berkembanga yang peduli lingkungan. Berbeda dengan masyarakat negara maju yang sudah sejahtera, kerusakan lingkungan relatif kecil, tapi negara maju pun dulunya, sebelum seperti sekarang, juga merusak lingkungan. Nurfadli menganjurkan agar dilakukan upaya-upaya mensejahterakan masyarakat atau pemberdayaan ekonomi. Terapkan teknologi untuk menambah nilai jual produk-produk perikanan Aceh. (irn)


Sumber : http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=98755:25-persen-penduduk-pesisir-aceh-hidup-di-bawah-garis-kemiskinan&catid=42:nad&Itemid=112

0 komentar:

Posting Komentar