Pages

Miskin dan Papa Ditengah Kaum Berjuis. Potret Kaum Marginal Kita


Angka kemiskinan di Indonesia memang simpang siur. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sekitar 14% dari seluruh total penduduk Indonesia atau sekitar 35 juta orang jumlahnya . Dari jumlah tersebut ternyata 60% berada di pedesaan, artinya sekitar 19,9 juta orang miskin ternyata berada dan tinggal di pelosok desa se tanah air.

Apa satandard yang digunakan BPS tentu sudah baku dan universal karena sudah lazim dan berulang ulang digunakan yakni standard yang ditetapkan oleh PBB. Apakah data ini valid? Belum tentu memang, karena selain ada tujuan pemerintah juga selain itu banyak pihak yang memiki angka -angka yang berbeda satu sama lainnya. Memang bedanya 1 hingga 2%, tapi karena perkaliannya terhadap 237 juta, tentu selisih 1% - 2% akan sangat besar angkanya.

Salah satu data yang menarik adalah data yang dimiliki oleh para Tokoh Lintas Agama yang menerbitkan memo bersama yang berjudul “Pernyataan Publik Tokoh Lintas Agama, Pencanangan tahun Perlawanan terhadap Kebohongan” salah satu data yang meraka anggap tidak benar adalah jumlah orang Miskin di Indonesia bukan seperti yang dilansir oleh Pemerintah, melainkan jumlahnya lebih banyak 2 kali lipat, yakni sebanyak 70 jutaan orang. Hal ini mengacu kepada jumlah orang miskin yang terdafar dalam pengajuan Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (Jakesmas) dan Beras untuk orang miskin (Raskin).

Dalam konstelasi fenomena kaum papa yang akan kita bahas, mari kita ambil saja data dari BPS,. Mari kita susuri data dan fakta rakyat miskin kita yang hidup terlunta-lunta dan hampir putus harapan karena melihat kenyataan demi kenyataan tentang kehebatan dan kesuksesan sebagian saudaranya yang lain yakni sebagian besar rakyat Indonesia yang menikmati hidup sebagai warga negara dengan kelebihan di dalam ekonomi, kemewahan dalam harta dan berkelimpahan dalam sisi keuangan.

Orang miskin merasa dirinya berada ditengah-tengah kemewahan ini. Pertanyaan rutin dalam hatinya, “Siapakah yang peduli?” Tidak ada yang peduli. Sebagian pejabat dan pemerintah kita memang ada yang peduli, tapi ada yang ada hanya sebagai valountir pencari keuntungan menggunakan data-data orang miskin. Mereka hanya mengejar proyek melalui program pengentasan kemiskinan yang ternyata kurang memberi manfaat secara nyata bagi kaum papa yang terpinggirkan tersebut.

Pernah kita dengar bahwa di sebuah desa di Jateng masyarakatnya harus makan tumbukan dari Singkong yang telah dikeringkan (tiwul) atau Gaplek?

Pernah kita dengarkan orang-orang miskin itu makannya hanya 1 kali sehari.

Pernah juga kita dengarkan betapa pedih hati orang tua melihat anaknya tidak gembira dan tidak ceria seperti anak orang lain yang lebih beruntung hidupnya karena berlimpah harta dan kekayaan orang tuanya.

Pernah kita mendengar untuk membiayai berobat diri sendiri pun kadang tak kuasa karena jangankan berobat, untk makan Senin -Kamis saja susah.

Tidak jarang sekelompok orang yang telah suskes secara ekonomi memberi stigma kepada kaum papa ini sebagai kaum marginal, karena mereka diaggap hanya menjadi beban bagi negara dan pemerintah. Tapi sekali lagi, tahu kah Anda bahwa menjadi miskin dan papa itu BUKAN tujuan yang mereka cita-citakan?

Jika kita melihat anak-anak orang melarat yang kurang terurus karena orang tuanya miskin apakah kita merasa jijik dan melihatnya najis, atau timbul keegoan kita bahwa kita lebih berharga dari mereka? Padahal menjadi miskin dan papa bukanlah keinginan mereka. Orang tua mereka yang miskin tidak mampu memberikan apa-apa selain belaian kasih sayang dan nasihat yang mengandung nilai-nilai kesabaran. Walau jarang yang bisa sabar tapi orang tua biasanya selalu bersikap seperti itu.

Banyak juga kita temukan orang miskin yang memilih terhormat dan bermartabad ketimbang menjadi budak hawa nafsu yang telah meracuni otak sebagian kaum berjuis hanya memikirkan masalah-masalah materialistis dan hedonisme yang tidak habis-habisnya.

Anak-anak orang miskin kadang tidak memiliki cita-cita lagi. Bagi mereka hidup ini hanya bagaimana bisa bertahan untuk besok. Bagaimana besok, apakah masih bisa makan? Hari ini makan nasi basi, kemarin makan nasi sisa orang di tong sampah, kemarinnya lagi ada roti sisa makanan orang kaya di tong sampah. Roti yang layak dimakan itu yang penting belum busuk dan kena serangan lalat. Kadang di bawa pulang untuk dimakan bersama.

Jangan anggap fenomena ini penuh dengan bumbu-bumbu tambahan kepedihan atau didramatisir, yakinlah banyak contoh dan kejadian yang dapat menyita rasa empati dan toleransi kita. Penulis sering menemukan rekan-rekan tetangga yang termenung-menung seminggu menjelang gajian, karena gajinya telah habis buat biaya sehari-hari. Jangan harap dia bercerita pengen nonton di Megaplex, Cineplex atau resotan mewah yang habis jutaan untuk 5-6 orang sekali makan. Bagi mereka mendapat Rp.10 ribu saja sudah gembira luar biasa karena cukup buat beli beras atau cukup beli Mie Instan untuk sarapan keluarga besok pagi.

Itulah fenomena rakyat miskin kita dari sudut sempit yang jarang terlihat oleh mata kita apalagi mata pejabat negara. Harusnya orang miskin yang hanya berjumlah 32 juta jiwa itu diberi skala prioritas saja. Daripada Pemerintah menghabiskan dana Bantuan Tunai Langsung dan berbagai program yang kurang efektif akan lebih baik dan efektif berikan tugas kepada Bupati dan Gubernur untuk mengangkat derajat dan martabad orang miskin di wilayah masing-masing dengan memberikan mereka Rumah yang layak, jaminan kesehatan yang jujur (bukan cuma janji atau rekayasa) atau sedapat-dapatnya memberikan peluang usaha kepada mereka.

Ada yang mengatakan, mana mungkin. Jumlah orang miskin sebegitu banyak diberikan bantuan seperti itu ? Jangan lupa, berapa lah 32 juta jiwa itu dibantu sesuai dengan contoh bantuan di atas. Mungkin saja bisa bertahap hingga 3 tahun lamanya. Jadi setiap tahun ada 11 juta jiwa yang dibantu langsung secara total. Jika sudah begini, kira-kira masih adakah orang miskin di Indonesia? Apakah dapat menjamin tingkat kemiskinan langsung ke titik Zero..? Belum tentu.

Beberapa orang miskin yang dibantu memang ber masalah, karena secara psikis dan mental mereka telah depresi atau tertekan berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Ditambah lagi dengan kebiasaan dan budaya dalam keluarganya tidak disiplin dan tidak memiliki komitmen dan integritas, maka beberapa bentuk bantuan pemerintah akan salah diartikan atau akan salah mereka gunakan.

Disinilah letaknya peran pengawas pemberi bantuan agar keluarga yang mendapat bantuan tersebut dapat di monitoring perkembangannya per minggu atau per 2 minggu. Jika ada tanda atau gelagat yang tidak beres tentu pengawas dapat langsung memberikan nasihat, wejangan dan motivasi agar keluarga tadi kembali ke perjanjian dan keinginan yang pernah diidam-idamkan yakni keluar atau berhenti menjadi orang miskin.

Jika pola dan cara ini dilaksanakan, apakah masih perlu pemerintah berlomba-lomba memberi bantuan dalam bentuk program-program unik karena kesannya seperti mempersiapkan momentum untuk menjaring suara untuk kepentingan politik masing-masing? Pasti perlu, tapi masih ada cara lain yang lebih efektif menjaring suara rakyat, yakni : Siapa yang mengangkat dan mengeluarkan mereka sebagai orang miskin, dialah yang dianggap sebagai pahlawan. ..

Mari berlomba-lomba membantu kaum papa dan orang-orang terlantar akibat kemiskinan yang mereka hadapi. Bantuan kita dengan cara apa pun, sesuai dengan cara dan kemampuan masing-masing.

Sumber > http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/14/miskin-dan-papa-ditengah-kaum-berjuis-potret-kaum-marginal-kita/

1 komentar:

Anonim mengatakan...

memang benr tuh ga ada msyrakt indonesia yg ga miskin,smua nya pd miskin. kcuali aqu.
hehehehhhhhhhh..........

Posting Komentar