Pages

Masyarakat Harus Mengkontrol PTS Untuk Memwujudkan Transparasi Dan Akuntabilitas Pengelola Pendidikan Di Aceh

Saat ini pengelolaan pendidikan dapat dikatakan masih tertutup bagi masyarakat, terutama dari segi pengelolaan administrasi keuangan. Pihak pengelola badan pendidikan masih menganggap tabu untuk membuka akses masyarakat terhadap aliran pendanaan pendidikan. Masyarakat sering mengeluh tentang biaya pendidikan yang dilakukan oleh pihak satuan pendidikan yang tidak sesuai dengan tingkat pendapatan masyarakat Aceh. Padahal dalam era reformasi ini telah diatur kewajiban bagi para penyelenggara negara termasuk lembaga pendidikan untuk mengelola dana dan menyelenggarakan pendidikan secara transparan dan bertanggung jawab.

Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN dikatakan bahwa asas umum penyelenggaraan negara disebutkan meliputi ;

(1) Asas kepastian hukum.

(2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara.

(3) Asas Kepentingan Umum.

(4) Asas Keterbukaan.

(5) Asas Proporsionalitas.

(6) Asas Profesionalitas dan

(7) Asas Akuntabilitas.

Asas Keterbukaan atau Transparansi adalah asas yang membuka diri terhadap hak hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara pendidikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian arti kedua asas tersebut didalam penjelasan Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999.

Masalah pendanaan pendidikan sebagaimana diatur dalam bab XIII pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Pengelolaan dana pendidikan diatur dalam pasal 48 ayat (1) menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik.

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam era reformasi ini pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan seharusnya dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab. Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan berhak untuk mengetahui seluk beluk dunia pendidikan, terutama masalah pengelolaan dana pendidikan pada satuan pendidikan.

Hak-hak masyarakat untuk mengetahui dan mempergunakan informasi tentang pengelolaan pendidikan ini diperkuat lagi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang ini menyatakan bahwa Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada dibawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik. Sedangkan pada pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN,APBD,organisasi non pemerintah, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri.

Dalam Undang-Undang ini juga diatur adanya sangsi pidana bagi penyelengara pendidikan yang tidak mau memberikan informasi yang diminta oleh pengguna informasi publik sebagaimana diatur dalam pasal 52, sedangkan bagi pengguna informasi publik juga ada sangsi pidana sebagaimana tercantum dalam bab XI dan pasal-pasalnya. Demikian pula dalam Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan telah diatur pula prinsip pengelolaan pendidikan pada bab VI yang pada dasarnya meliputi (a) prinsip keadilan; (b) prinsip efisiensi; (c) prinsip transparansi dan (d) prinsip akuntabilitas publik.

Masalah Transparansi dan Akuntabilitas pengelolaan badan publik dalam bidang pendidikan ini telah diatur dalam 3 (tiga) Undang Undang dan 1 (satu) Peraturan Pemerintah dengan disertai ketentuan pidana bagi yang melanggarnya, oleh karenanya sosialisasi mengenai hal ini kepada masyarakat di Banda Aceh. Lalu ada beberapa badan publik yang masih belum melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas.


Pengelola dunia pendidikan belum bersedia membuka diri untuk melakukan prinsip penyelenggaraan pendidikan secara transparan dan akuntabilitas sebagaimana dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan. Transparansi pendidikan merupakan wujud pertanggung jawaban pengelolaan pendidikan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan, oleh karenanya itu wajib badan publik untuk bersikap transparan kepada seluruh masyarakat

Penulis : KOMKAB

HAPUS LIBERALISASI DAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan kualitas sumber daya manusia, mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, wawasan keunggulan, kesetiakawanan sosial, dan kesadaran pada sejarah bangsa sehingga terbentuk watak bangsa yang kokoh.
Sesuai dengan apa yang sudah diamanatkan UUD 1945, mencerdaskan anak bangsa adalah tujuan dari negara, maka pemerintah bertanggung jawab dan menjamin kesempatan kepada seluruh anak bangsa. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan peran serta masyarakat, termasuk pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat seharusnya terus dikembangkan secara merata di seluruh tanah air dengan memberikan perhatian khusus kepada peserta didik terutama menyangkut pembiayaan pendidikan, khususnya berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Sampai hari ini kita masih mendengar anak bangsa yang putus sekolah atau tidak dapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan, bahkan setiap hari jumlahnya selalu bertambah. Tentu saja hal tersebut dikarenakan terbatasnya kemampuan ekonomi rakyat Indonesia yang telah diperas dan dimiskinkan oleh sistem ekonomi yang kapitalistik. Disamping itu juga sistem pendidikan nasional yang dibangun juga tidak berpihak terhadap rakyat kecil.
Berbagai kisah tentang mahalnya biaya pendidikan dan peran sekolah yang turut memainkan biaya sekolah menjadikan sekolah menjadi pasar yang dihitung dengan untung dan rugi. Biaya sekolah (uang) bahkan sudah mulai ikut menentukan arah, kemana pendidikan masyarakat hendak melangkah. Tanpa uang, tidak mungkin seorang anak miskin bisa menikmati pendidikan sekolah. Dengan kata lain, uang sudah amat berperan dalam sendi kehidupan manusia yang paling dasar. Uang menjadi value (nilai) yang kian dominan dalam worldview (pandangan dunia) kita saat ini, bukan hanya secara ekonomis tetapi juga sosio-kultural. Terlepas dari baik buruknya pengaruh masuknya uang dan pasar ke lembaga pendidikan sekolah, yang jelas pengaruh kapitalisme dengan salah satu tandanya uang dan pasar, sudah ikut menguasai sekolah. Maka tidaklah berlebihan kemudian muncul istilah, “memasarkan sekolah dan menye-kolahkan pasar”. Dampak lebih lanjut, banyak orang tua sekarang membuat kalkulasi, berapa biaya sekolah anaknya dan berapa uang yang akan ia dapat sesudah si anak selesai sekolah. Pandangan ini juga secara tidak langsung menempatkan anak bukan sebagai subjek didik, tetapi aset. Anakpun dilihat sebagai modal (human capital).
Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab dan menjamin kesempatan memperoleh pendidikan untuk semua anak bangsa ternyata malah mendorong liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang jelas mendiskriminasi rakyat kecil. Terbukti dengan produk hukum pendidikan seperti UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 Tahun 2003, BHP ( Badan Hukum Pendidikan) yang gagal, dan sekarang UU PT ( Perguruan Tinggi ) yang lagi digodok DPR dengan tujuan untuk melegitimasi praktek BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dan BLU (Badan Layanan Umum) yang tidak mempunyai dasar hukum.
Dengan demikian pemerintah telah melakukan perubahan paling mendasar terhadap tujuan pendidikan. Pendidikan, selanjutnya, bukan lagi merupakan suatu kegiatan kebudayaan untuk memanusiakan manusia, tetapi telah berubah menjadi kegiatan industri atau komoditas ekonomi.
Oleh karena itu kami anak bangsa yang tergabung dalam GPPI (Gerakan Pemuda Patriotik Indonesia) mengajak semua elemen masyarakat untuk bersama:
1. Hapus praktek liberasisasi dan komersialisasi pendidikan
2. Tegakkan ideologi Pancasila dan UUD 1945 (asli) sebagai dasar pendidikan nasional.
3. Lawan rezim komprador yang telah merusak Sistem Pendidikan Nasional.
4. Tolak RUU PT.
5. Bebaskan biaya pendidikan sampai perguruan tinggi.


Sember : http://gerakanpemudapatriotikindonesia.blogspot.com/2011/05/hapus-liberalisasi-dan-komersialisasi.html

Mahasiswa STMIK U'Budiyah Tuntut Akreditasi

Banda Aceh — Ratusan mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen dan Informatika dan Komputer (STMIK) U’Budiyah Banda Aceh berunjukrasa dengan mendatangi pihak kantor Badan Pelaksana Harian (BPH) Yayasan U’Budiyah di kawasan Tibang, Banda Aceh, Rabu (2/2).

Mereka menuntut agar pihak yayasan memperjelas status akreditasi kampus dan jurusan mereka masing-masing. Tidak hanya itu, para mahasiswa juga menuntut agar pihak yayasan bisa saling terbuka dengan mahasiswa.

Menurut Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STMIK U’Budiyah, Fauzul Husni, pihak Yayasan U’Budiyah telah melakukan pembohongan publik.

“Pada brosur tahun 2008 lalu, pihak yayasan pernah mencantumkan kata-kata gratis dalam untuk biaya les komputer, les Bahasa Inggris, dan les internet. Tapi nyatanya kami harus membayar hari ini dengan biaya hingga Rp 260 ribu. Makanya hari ini, kita ingin pertanyakan itu semua, kapan makna gratis yang disebutkan dalam brosur tersebut berubah,” urai Fauzul mempertanyakan.

Selain kedua hal tersebut, kata Fauzul, mahasiswa juga menilai fasilitas laboratorium sebagai salah satu mata kuliah kenapa harus dibayar. “Padahal ini seharusnya menjadi tanggung jawab yayasan yang harus mereka sediakan untuk kami,” jelas Fauzul.

Sementara itu, Koordinator aksi, Saifuddin juga menyebutkan beberapa poin lainnya yang menjadi aspirasi mahasiswa STMIK yaitu, masalah dosen pengajar yang datangnya tidak tepat waktu, peraturan akademik yang tidak tegas, rincian dana Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang belum siap hingga saat ini dan lainnya.

Kecuali itu, dalam aksinya ini para mahasiswa meminta agar pihak yayasan menemui mereka secara langsung. Jika ini tidak dilakukan, mereka mengancam akan menyegel kampus.

Secara terpisah Ketua Yayasan U’Budiyah Marniati, M.Kes yang dijumpai wartawan menyampaikan, masalah akreditasi yang dipertanyakan tersebut sebenarnya dalam proses.

“Kita sudah usulkan ke Badan Akreditasi Nasional (BAN) Perguruan Tinggi pada Mei 2010. Namun menurut pihak BAN, saat ini anggaran untuk tahun 2010 tidak ada lagi dan mereka belum bisa turun langsung untuk melakukan akreditasi tersebut,” jelas Marniati.

Direktur Rumah Sakit U'Budiyah Banda Aceh ini menambahkan, pihak BAN baru akan melakukan akreditasi pada 2011 ini. “Paling lama pada April nanti semuanya sudah selesai prosesnya,” ujar Marniati.

Kemudian, menyangkut fasilitas yang harus dibayar oleh mahasiswa, dia menilai, hal itu memang wajar bagi sebuah perguruan tinggi swasta yang memang boleh menetapkan biaya sesuai fasilitas yang ada.

Sumber : http://www.theglobejournal.com/kategori/pendidikan/mahasiswa-stmik-ubudiyah-tuntut-akreditasi.php